Arief Djoko Budiono, 20 Tahun Jadi Juru Taman Istana; Bu Tien Titip Jaga Pohon Beringin
Ketua Asosiasi Museum Indonesia DKI Jakarta Paramita Jawa Arief Djoko Budiono memiliki segudang pengalaman sebagai landscaping atau juru taman. Tidak main-main, 20 tahun Djoko dipercaya menjadi juru taman istana kepresidenan. Laporan: M. HILMI SETIAWAN, Jakarta SUATU siang di masa lalu Arief Djoko Budiono sedang asyik menanam pohon pucang di kompleks istana kepresidenan. Tanpa dia sadari, Presiden Soeharto menghampirinya dari belakang. “Mau diapakan pohon pucang itu,” ujar Djoko menirukan Pak Harto. Tentu saja, Djoko kaget mendapat pertanyaan tiba-tiba dari orang nomor satu di republik ini saat itu. “Kalimat Pak Harto tersebut memang hanya sepotong. Tetapi sampai sekarang saya tak bisa melupakannya. Saya sangat terkesan,” jelas pria kelahiran Kediri, 24 Januari 1954, itu saat ditemui di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, kemarin (27/10). Djoko mulai bekerja sebagai landscaping di istana kepresidenan pada 1978. Berbekal gelar sarjana muda arsitektur landscape dari Universitas Trisakti (1977), Djoko mengabdikan ilmunya untuk merawat taman di seluruh kompleks istana. Memang, kala itu Djoko mengenal dengan baik Brigjen Samperno, kepala Rumah Tangga Kepresidenan. “Tapi, saya masuk (istana) melalui ujian. Bukan KKN,” tuturnya, lantas tersenyum. Sebelum diterima bekerja, suami Herwati itu mesti menjalani seleksi ketat. Salah satu tesnya adalah menggarap taman di salah satu sudut kompleks istana. Oleh pihak istana, taman garapan Djoko dinilai bagus. Maka, sejak itu dia dinyatakan diterima sebagai juru taman istana. Seiring perjalanan waktu, tugas Djoko tidak sebatas di istana kepresidenan yang berada di sisi utara Tugu Monas. Namun, dia juga sering diminta menggarap taman istana kepresidenan di Bogor, Cipanas, dan Jogjakarta. Selain itu, Djoko punya tanggung jawab menggarap taman di kediaman Pak Harto di Jalan Cendana dan rumah dinas wakil presiden di Jalan Diponegoro, Jakarta. Bukan hanya lingkungan istana yang mendapat sentuhan tangan Djoko. Beberapa tahun setelah menjadi bagian dari lingkungan istana, dia dipercaya mengelola taman-taman di TMII. Dari situlah Djoko bisa dekat dengan First Lady Tien Soeharto yang saat itu menjadi pembina TMII. Menurut Djoko, Bu Tien sejatinya seorang ahli landscape otodidak yang hebat. Salah satu kenangan yang tak bisa dilupakan Djoko terjadi ketika Bu Tien meninjau taman anggrek di TMII pada 1992. Kala itu Bu Tien yang berdiri di samping Djoko sempat berpesan, “Djoko...pohon beringin itu jangan sampai mati ya.…” Amanah Bu Tien tersebut dijaga betul oleh ayahanda Jati dan Danur Dara itu. Sampai saat ini pohon beringin “titipan” Bu Tien tersebut masih berdiri kukuh di kompleks TMII. Menurut Djoko, Bu Tien sangat suka taman-taman yang indah. “Beliau tergolong perfeksionis pada urusan-urusan taman,” ujarnya. Garapan terakhir yang ditangani Djoko adalah taman memanjang dari halaman depan Istana Merdeka sampai sisi kanan kantor Sekretariat Negara. Proyek yang dia garap pada 1996 itu memakan waktu pengerjaan sampai setahun penuh. Djoko menjelaskan, ide pembuatan taman umumnya tematik. Salah satu taman yang temanya cukup khas, menurut Djoko, adalah Taman Benteng Vredeburg, Jogjakarta. Djoko menggarap taman di Kota Gudeg itu pada 1989. Taman Benteng Vredeburg unik karena jumlah tanamannya benar-benar by setting. Jumlah tanamannya bisa 17, 19, atau 45. Kombinasi angka itu menunjukkan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Konsep taman itu dimaksudkan untuk mengenang agresi militer Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta. Bagi Djoko, menjadi seorang landscaping harus memiliki semangat bekerja sendiri. Caranya, meninggalkan warisan yang baik kepada generasi berikutnya. Berbeda sekali dengan kegiatan penambangan alam, yang meninggalkan warisan kerusakan kepada generasi berikutnya. Djoko berpesan kepada generasi muda saat ini agar tidak ragu memilih jurusan kuliah landscaping. Sebab, setiap jengkal kehidupan manusia membutuhkan peran seorang landscaping untuk merawatnya “Bahkan, di setiap RT ada tamannya,” tutur dosen tamu Universitas Trisakti Jakarta itu. Seorang ahli taman atau landscaping, kata Djoko, dituntut bisa membuat taman yang dapat menimbulkan interaksi dengan orang atau pengunjung. Bukan taman yang mati. Contohnya taman di kompleks perumahan, harus bisa membuat anak-anak mengalami hidup di taman. Djoko berhenti sebagai ahli taman di istana kepresidenan pada pertengahan masa jabatan Presiden B.J. Habibie. Setelah itu, dia hanya fokus di TMII. Sampai akhirnya pada 2010 dia ditunjuk sebagai koordinator pengelola museum-museum TMII. “Sebenarnya bukan ditunjuk. Tetapi tepatnya dipaksa,” jelasnya, lantas menyantap singkong goreng. Total 20 museum harus dia pantau. Sepuluh unit milik pemerintah serta BUMN, sepuluh lainnya museum aset TMII. Ibarat orang tua, dia tidak boleh pilih kasih dalam mengelola 20 museum itu. Djoko mengakui, mengelola museum kadang dihadapkan pada tingkat kunjungan yang sepi. Sebab, museum belum bisa dijadikan destinasi wisata seperti di negara-negara Eropa. Ketika itu sudah terjadi, dia harus pandai memutar otak untuk mengatasinya. Suatu saat dia prihatin melihat Museum Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sepi. Tapi, dia tidak mati akal. Dia lantas menyelenggarakan pertunjukan musik di Museum NTT. “Nggak apa-apa ngeband jedar-jedur. Yang penting ramai dulu,” tuturnya. Nah, saat ramai itulah, pasti ada pengunjung yang ingin tahu seperti apa isi museum. Keberadaan pengunjung itulah yang bisa merangsang kehadiran pengunjung yang lain. Ketika pengelola museum resah melihat kenyataan tingkat kunjungan yang sepi, saat itulah kreativitas, koneksi, dan kemampuan membangun komunitas diuji. Bisa saja pengelola mengundang warung untuk berjualan di pelataran museum. Lama-lama keberadaan warung itu menarik perhatian orang untuk berkunjung ke museum. Menurut Djoko, keberadaan museum sangat penting. Orang menjadi tidak lupa pada sejarah bangsanya. Namun, untuk itu, pengelola harus bisa memberikan nilai lebih kepada setiap koleksinya. “Contohnya, HP ini harganya tidak seberapa jika saya jual di pasar loak. Namun, ketika HP ini dibungkus dengan rapi, kemudian diberi keterangan atau catatan sejarah, harganya pasti akan tinggi,” ujar dia. (*/c10/ari)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: