Nasirin, Warga Cirebon yang Meninggal saat Ditawan Perompak Somalia; Keluarga Hanya Terima Sandal-Pakaian dan
Sudah banyak ‘orang pintar’ yang didatangi Wasjudi (62) untuk mendapatkan sedikit kejelasan nasib anaknya, Nasirin. Selama merantau di Taiwan dan bekerja jadi ABK di Kapal Naham 3, Nasirin hanya sekali menghubungi keluarga. Itu pun tidak langsung ke orang tua, melainkan melalui telepon tetangga. Laporan: ANDRI WIGUNA, Cirebon KOMUNIKASI terakhir Nasirin dengan keluarga pada tahun 2012. Saat itu, Nasirin mengabarkan kapalnya mau berlayar ke Afrika. “Setelah itu tak ada kontak lagi,” cerita Wasjudi saat ditemui Radar di kediamannya di Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, kemarin. Sejak tak ada kabar dari Nasirin, Wasjudi pun sering mengunjungi ‘orang pintar’ dan meminta tolong untuk menerawang kondisi Nasirin. Sebagai orang tua, Wasjudi tidak mau menyerah pada keadaan. “Sudah belasan orang pintar saya datangi. Foto Nasirin saya bawa, saya serahkan ke orang pintar. Sampai-sampai sekarang di rumah tidak ada foto Nasirin lagi, tinggal yang da di HP,” katanya. Namun dari belasan ‘orang pintar’ yang ia temuai, semuanya mengatakan untuk mengikhlaskan dan mendoakan Nasirin. Kata ‘orang pintar’ bahwa anak kedua dari delapan bersaudara tersebut tidak akan pulang ke rumah. “Semua orang pintar bilang begitu. Katanya cukup kirim doa saja, Nasirin tidak akan pulang,” ujarnya. Nasirin berangkat ke Taiwan dengan modal yang tidak sedikit. Untuk biaya dan kebutuhan mempersiapkan persyaratan, harus mengeluarkan uang sampai Rp15 juta. “Uangnya kita pinjam-pinjang ke tetangga,” kenang Wasjudi. Dia mengatakan sebenarnya pihak keluarga sudah mendapatkan kabar dari Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu RI yang mengirimkan surat beberapa tahun lalu dan mengabarkan Nasirin dan beberapa temannya mengalami musibah. Kapal yang membawa Nasirin ke Afrika disandera oleh perompak Somalia. “Kita terima suratnya, diantarkan polsek,” tuturnya. Dalam surat dikatakan pula bahwa Nasirin meninggal dunia akibat sakit malaria saat disandera oleh kelompok perompak Somalia. “Kita akhirnya gelar tahlilan setiap setahun sekali. Keluarga sudah pasrah dan ikhlas, hanya minta hak-hak Nasirin seperti gaji dan lain-lain dipenuhi oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait (perusahaan, red),” paparnya. Beberapa barang milik Nasirin pun sudah diserahkan ke pihak keluarga. Bahkan yang mengantarkannya adalah Supardi, rekan Nasirin yang selamat dan telah kembali ke Cirebon. Supardi dan rombongan Kemenlu datang ke rumah keluarga Nasirin pada Minggu (30/10). Mereka menyerahkan pakaian dan sandal milik Nasirin. Sandal dan pakaian itu disimpan Supardi saat Nasirin meninggal dunia. Dalam pertemuan tersebut, Supardi pula yang menegaskan bahwa Nasirin sudah meninggal dunia. Supardi juga yang menyaksikan langsung pemakaman Nasirin. “Selain barang-barang Nasirin, ada juga uang Rp12 juta yang katanya Rp8 juta uang asuransi dan Rp4 juta sumbangan dari teman-temannya,” pungkas Wasjudi. Sebelumnya diberitakan, ada empat WNI yang disandera oleh perompak di Somalia akhirnya bertemu dengan keluarga di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Dari empat itu, satu di antaranya adalah Supardi (34). Supardi juga berasal dari Cirebon, tepatnya Desa Kalisapu, Kecamatan Gunungjati. Supardi saat di Kemenlu sempat menceritakan saat mereka ditawan para perompak. Semua bermula pada 26 Maret 2012 lalu. Tepatnya, pukul 02.00 waktu setempat di wilayah perarian Somalia. Saat ABK selesai bekerja memang sedang geladak dasar kapal tiba-tiba mendengar rentetan senjata membabi buta. Rupanya tembakan itu mengenai kapten kapal dan membuat ABK semburatan panik. Tak lama, pembajak pun mengambil alih kapal dan menyekap ABK di perairan wilayah Hobyo, Somaila. Penyekapan itu cukup lama yakni 1,5 tahun. Pukulan-pukulan dari para pembajak kepada para sandera dengan popor senjata menjadi pemandangan lumrah. Namun, kapal tersebut mulai karam pada 2013 sehingga sandera dipindahkan ke kawasan Budbud yang terletak 287 km dari Ibu Kota Somalia, Mogadishu. Di sana, mereka justru lebih teriksa. Memang, kehidupan mereka tak disuruh bekerja secara paksa. Kegiatan sehari-hari mereka hanyalah mencari kayu bakar untuk makan di sore hari. Namun, yang menjadi bagian paling sulit justru karena minuman dan makanan. Mereka hanya diberi jatah setengah liter air mentah untuk dibagi 26 sandera per harinya. Itu pun persediaan yang didapatkan dari persediaan yang sudah tercampur dengan kotoran unta atau kambing. “Tapi lebih baik mentah. Kalau dimasak, baunya tambah menguat dan malah membuat kami muntah-muntah,” jelasnya. Satu-satunya berkah yang diterima oleh sandera hanya jika ada hujan. Jika hujan, ABK bakal menggali tanah dalam-dalam sehingga menjadi penampungan air. Air tadah hujan itulah yang biasanya digunakan sebagai air minum selama beberapa minggu. “Masalahnya, hujan di Somalia itu hanya satu dua kali. Seperti keajaiban,” terangnya. Dalam penyanderaan itu, Nasirin meninggal dunia akibat sakit malaria pada 2015 lalu. Ketika itu Nasirin terus mengeluh merasa panas lalu dingin. Kondisi itu hingga akhirnya Nasirin tak tertolong. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: