Suksma Ratri, Penderita HIV yang Sebarkan Semangat Hidup bagi ODHA
Meski divonis positif HIV, Suksma Ratri tak lantas patah semangat. Justru sebaliknya, dia menjalani hari-harinya penuh manfaat. Dia aktif menyosialisasikan gerakan pencegahan penyakit mematikan itu. Laporan: SEKARING RATRI, Jakarta MASIH segar dalam ingatan Suksma Ratri Pearman saat kali pertama menerima vonis positif HIV. Tepatnya pada Mei 2006. Kala itu perempuan berparas manis tersebut diminta menjalani tes HIV/AIDS bersama putri semata wayangnya yang baru berusia tiga tahun. “Hasilnya saya positif HIV, sedangkan putri saya negatif. Saya sangat bersyukur putri saya negatif,” kenang Ratri saat ditemui Jawa Pos (Radar Cirebon Group) di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan Jumat malam lalu (28/10). Cara Ratri menerima kenyataan bahwa dalam tubuhnya bersarang virus HIV cukup epik. Dia tidak histeris ataupun putus asa. Perempuan 41 tahun itu bereaksi sangat tenang dan terkontrol. Melihat reaksinya yang biasa saja tersebut, keluarga besarnya –termasuk sang ibunda– pun akhirnya tidak bereaksi berlebihan. “Karena anaknya santai, jadi mama juga biasa aja. Tante-tante aku juga biasa aja. Sementara anakku waktu itu masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu HIV/AIDS,” ungkapnya. Sebelum mendapat vonis tersebut, Ratri memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS. Saat itu dia memang tengah mengajukan lamaran kerja ke Rumah Cemara, yayasan nirlaba yang concern di bidang penanganan dan pencegahan HIV/AIDS di Kota Bandung. Meski akhirnya terbukti mengidap HIV, Ratri ternyata tetap diterima bekerja di yayasan itu. Dengan adanya virus HIV di tubuhnya, Ratri sadar apa yang harus dilakukan agar harapan hidupnya tetap tinggi. “Biasanya mereka yang meninggal cepat itu karena terlambat tes HIV-nya. Sementara aku terbilang cukup dini terdeteksinya,” tuturnya. Ratri mengisahkan, dirinya memutuskan untuk segera menjalani tes bersama putrinya setelah mendapat saran dari mantan suaminya. Seperti dalam banyak kasus penderita HIV/AIDS, dia memperoleh virus mematikan tersebut dari pasangannya. Mantan suaminya adalah pengguna narkoba suntik. Keterbukaan soal masa lalu yang kelam itu membuat Ratri percaya bahwa pria tersebut sudah berubah. Meski begitu, dia sempat meminta mantan suaminya itu untuk tes HIV/AIDS sebelum ke pelaminan. “Tapi, dia menolak. Alasannya, dia sudah pernah tes dan hasilnya negatif. Hanya, setiap kali aku minta kopi hasilnya, dia selalu berkelit,” papar Ratri, yang akhirnya menikah dengan pria yang dirahasiakan namanya itu pada 2003. Bahtera rumah tangga yang semula diimpikan indah oleh Ratri itu ternyata hanya ilusi. Tabiat asli sang suami muncul lagi. Dia kasar serta pencemburu berat dan penganggur. Bila marah, dia tidak segan-segan untuk memukul istrinya. “Waktu kehamilanku jalan tujuh (bulan, red), aku merasa suamiku pakai (narkoba, red) lagi. Karena ada bekas suntikan baru di tangannya. Tapi, ketika aku tanya, dia malah marah dan kami berantem. Dia nendang aku sampai jatuh. Akhirnya, air ketubanku bocor. Pas tujuh bulan, dokter bilang supaya bayiku dikeluarkan. Jadi, ya putriku lahir prematur,” papar Ratri. Bukannya sadar, setelah kejadian itu, suami Ratri tidak berubah. Malah perangai kasarnya menjadi-jadi. Puncaknya, perempuan kelahiran 11 Januari itu disiram air mendidih hanya gara-gara ingin menghadiri acara reuni SMA. Saat itulah kesabaran Ratri sudah habis. “Sebenarnya saat itu aku masih berusaha bersikap tenang. Habis disiram, aku bersihkan baju dan mukaku, terus berangkat kerja. Namun, sampai di kantor, aku langsung telepon pembantu untuk beresin barang-barangku sama barang anakku,” tutur Ratri. Ratri memilih untuk pisah rumah. Baru pada tahun 2005 dia memutuskan untuk bercerai. Pada awal 2006, sang mantan suami menghubungi Ratri. Dia mengabarkan bahwa dirinya positif mengidap AIDS. Dia lalu meminta Ratri dan putrinya segera menjalani tes HIV/AIDS. “Dari situlah, akhirnya ketahuan aku positif, tapi putriku tidak,” ujar ibunda Srikandhi tersebut. Tak berapa lama, Ratri bekerja di Rumah Cemara sebagai manajer kasus. Dia menjalani hari-hari barunya dengan penuh semangat. Namun, di tengah kesibukan mengurus yayasan dan orang-orang dengan HIV/AIDS (ODHA), terdengarlah kabar bahwa mantan suaminya sakit parah. Awalnya, Ratri tidak peduli. Namun, rekan-rekannya di Rumah Cemara meyakinkan Ratri untuk mengunjungi mantan suaminya tersebut bersama putrinya. “Aku sempat nggak mau karena harus menginjakkan kaki ke rumahnya lagi. Rasanya ngeri. Tapi, akhirnya aku bersedia. Benar aja, waktu aku menjenguk dia, badannya sudah kayak tengkorak. Anakku ketakutan melihat bapaknya kayak gitu,” ungkapnya. Pada Maret 2007, mantan suaminya akhirnya meninggal. Kematian mantan suaminya itu sedikit banyak membawa kelegaan dalam diri Ratri. “Rasanya kayak ada beban yang terangkat. Aku jadi lega karena nggak dibayang-bayangin sosoknya lagi,” ucap dia. Akhir 2007 Ratri bermigrasi ke Malaysia untuk bekerja di Coordination of Action Research on Aids and Mobility (CARAM Asia), LSM regional yang juga concern terhadap masalah HAM dan kesehatan, termasuk HIV/AIDS. Di sana Ratri meng-handle para buruh migran yang juga pengidap HIV/AIDS. Selama di Malaysia, Ratri merasakan kiprahnya sebagai aktivis HIV/AIDS makin nyata. Dia tidak ragu memperjuangkan nasib para buruh migran yang dipulangkan paksa lantaran menderita penyakit mematikan tersebut. Menurut Ratri, para buruh migran itu tertular HIV/AIDS setelah bekerja di negara tujuan, bukan sejak di Indonesia. Sampai sekarang masih ada 62 negara yang memberlakukan HIV related travel restriction (larangan memasuki suatu negara bagi penderita HIV/AIDS) meskipun sebenarnya epidemi HIV/AIDS sudah ada di negara-negara itu. “Tapi, mereka menganggap virus itu dari luar,” ucapnya. Berkat kiprahnya yang konsisten dalam kampanye anti-HIV/AIDS, Ratri akhirnya terpilih sebagai pembicara pembuka dalam Sidang Istimewa PBB 2008 di New York, Amerika Serikat. Biasanya pembicara forum semacam itu dipilih dari Afrika karena populasi penderita HIV/AIDS di sana cukup besar. Namun, tahun itu terbuka seleksi untuk menjadi pembicara pembuka Sidang Istimewa PBB yang mengangkat tema besar HIV/AIDS. “Jadi, ada announcement untuk pembicara Sidang Istimewa PBB dari komunitas. Sama teman kantor, aku disuruh daftar karena kata dia selling point-ku tinggi. Waktu itu usiaku 30-an, perempuan, korban KDRT, dan tertular HIV dari suami. Akhirnya aku terpilih dan berangkat ke New York,” bebernya. Bagi Ratri, kesempatannya berbicara di Sidang Istimewa PBB adalah capaian yang luar biasa dalam hidupnya. Apalagi, dia terpilih di antara ratusan pelamar dari seluruh dunia. Kini perempuan yang gemar menulis tersebut kembali menggeluti karir sebagai PR di Solidaridad Network Indonesia, yayasan nirlaba asal Belanda yang berfokus pada pengembangan pertanian dan pemberdayaan petani. Meski pekerjaannya tidak lagi berkaitan dengan masalah HIV/AIDS, Ratri masih kerap menjadi pembicara di berbagai ajang yang terkait dengan penyakit tersebut. “Bahkan, sampai ada yang bilang, udah kalau soal HIV, hubungi Ratri saja,” ujar dia, lantas terbahak. Tidak terasa sudah sepuluh tahun Ratri hidup dengan virus HIV dalam tubuhnya. Beberapa pakar medis memperkirakan harapan hidup penyandang HIV positif seperti Ratri adalah 15 tahun. Artinya, bukan tidak mungkin dalam lima tahun lagi dia menghadapi ajal. Namun, penulis buku Dari Balik Lima Jeruji dan Siluet dalam Sketsa itu menyikapinya dengan santai. Bahkan, Ratri sudah menikah lagi dengan lelaki berkebangsaan Inggris. “Dia tidak keberatan dan keluarga besarnya juga tahu kondisiku,” ujarnya. Yang penting, tutur Ratri, penderita HIV harus pandai-pandai me-manage virus tersebut. “Selama ini aku termasuk orang yang jarang sakit. Bahkan, teman-temanku yang malah sering sakit dibanding aku,” imbuhnya. (*/c10/c11/c9/ari)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: