Waswas Menunggu Realisasi Janji Trump

Waswas Menunggu Realisasi Janji Trump

Laporan: SOFYAN HENDRA dari Washington  “Memangnya kita Israel, negara sempit yang bisa dibangunkan tembok?” tanya Matthew (21), mahasiswa Howard University, Washington, saat berbincang dengan Jawa Pos (Radar Cirebon Group) kemarin. Pertanyaan dari Matthew itu memang bukan sekadar skeptis terhadap dasar pembangunan tembok untuk menghalau imigran gelap dari Meksiko. Lebih dari itu. Yakni, terkait dengan tanda tanya: duitnya dari mana? “Bayangkan membangun tembok sepanjang itu. Itu ide gila. Saya tak yakin dia bisa menjalankannya setelah berada di Gedung Putih,” ujarnya. Juli lalu The Economist menghitung dampak ekonomi dari pembangunan tembok di perbatasan Meksiko. Berdasar kajian Bernstein Research, panjang perbatasan 3.200 kilometer. Namun, kira-kira “hanya” dibutuhkan 1.600 kilometer karena ada penghalang natural seperti Rio Grande, sungai mahalebar di perbatasan. Dengan asumsi tinggi tembok adalah 12 meter, dibutuhkan USD 711 juta atau setara Rp9,24 triliun untuk pengadaan beton dan USD 240 juta (setara Rp3,1 triliun) untuk semen. Termasuk tenaga kerja, total biayanya bisa mencapai kisaran USD 15 miliar hingga USD 25 miliar (Rp195 triliun hingga Rp325 triliun). Secara ekonomis, tidak mungkin AS menyediakan semua semen dan bahan utama infrastruktur lainnya ke arah perbatasan. Langkah paling efisien adalah membeli semen dari Meksiko. Cemex, raksasa perusahaan semen Meksiko, akan sangat diuntungkan dengan proyek ambisius Trump itu. Ironis. Pertanyaannya, apakah naluri bisnis (dan insting politik setelah menjadi presiden) Trump tetap akan membuat proyek itu berjalan. Sebab, dalam kunjungan yang amat kaku di Gedung Putih saat dijamu Presiden Barack Obama, Trump sudah menunjukkan gelagat kompromistis. Khas politikus. Dia mengatakan bahwa Obamacare, program jaminan kesehatan yang dalam kampanyenya akan dia lenyapkan, tetap bisa dilanjutkan untuk beberapa benefit dasar. Patut pula ditunggu implementasi janji kampanye untuk merenegosiasi blok Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Itu adalah janji terbesar Trump kepada mayoritas kulit putih tak berpendidikan tinggi yang dalam exit polls terbukti merupakan pendukung utamanya. Janji negosiasi ulang terhadap NAFTA diharapkan bisa melindungi mereka dari ekses mengerikan perdagangan bebas: kehilangan pekerjaan. Memang tetap sulit membayangkan bagaimana AS yang telah puluhan tahun memperjuangkan persaingan bebas berubah haluan ke proteksionisme garis keras. Selama ini perdagangan dan arus investasi bebas telah banyak mendatangkan keuntungan terhadap pemodal-pemodal AS yang bisa menaruh dananya di mana saja. Ekses terhadap kelas pekerja yang kini memilih Trump memang ada. Namun, proteksionisme terbukti belum pernah berhasil diterapkan di banyak negara. Pelonggaran kebijakan yang membawa dampak ekonomi besar bagi AS dan negara-negara lain justru datang dari hal yang dikhawatirkan Amy, 45, aktivis lingkungan yang kemarin berada di dekat Gedung Putih dengan membawa poster berbunyi, “Climate Change is Not Hoax”. ”Mengerikan sekali apabila presiden tidak percaya dengan perubahan iklim,” katanya. Pada masa kampanye, Trump pernah mengatakan bahwa perubahan iklim itu adalah hoax. Itu sekaligus menjadi antitesis dari delapan tahun pemerintahan Obama yang begitu ketat mengatur emisi industri terkait perubahan iklim. Itu telah membuat industri batu bara (dan turunannya) terjepit. Apalagi ditambah dengan harga komoditas yang lesu. Maka, ketika Trump memenangi pemilihan, saham raksasa pertambangan batu bara AS, Caterpillar Inc, melesat hingga 7 persen. Jika industri batu bara menggeliat, sejumlah industri lain seperti produsen truk dan kereta api juga mendaki. Hingga kini pasar finansial masih menunggu arah kebijakan ekonomi Trump. Sepanjang belum ada garis yang benderang, otoritas moneterlah yang bakal mengambil peran. Konsensus analis telah yakin bahwa Desember nanti The Fed menaikkan suku bunga untuk meredam ketidakpastian. Itu adalah hal yang tak menguntungkan bagi emerging markets seperti Indonesia. (*/c10/ca)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: