Tak Ada Prestasi Jaksa Agung yang Menonjol

Tak Ada Prestasi Jaksa Agung yang Menonjol

JAKARTA- Catatan buruk dua tahun kinerja Jaksa Agung M. Prasetyo terus disuarakan berbagai pihak. Setelah ICW dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), kini giliran mantan Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Halius Hosein yang bersuara. Menurut dia, selama dua tahun menjabat jaksa agung, Prasetyo tidak menunjukkan peningkatan kinerja. Termasuk dalam penanganan korupsi. ”Tidak ada prestasi yang menonjol,” kata Halius Hosein kemarin (20/11). Selain tidak ada prestasi menonjol, Halius mengkritik penanganan perkara yang tak tuntas. Banyak tunggakan perkara di era Prasetyo. Halius juga menyoroti kuatnya dugaan adanya intervensi politik dalam penanganan sebuah perkara. Karena itu, dia mendesak Prasetyo untuk membenahinya. “Jangan sampai ada intervensi politik. Jaksa agung harus membuktikan bahwa tidak ada intervensi,” papar dia. Prasetyo memang berlatar belakang politikus. Sebelum menjabat jaksa agung, Prasetyo adalah anggota DPR dari Nasdem. Selain itu, Halius mengkritik sistem mutasi dan promosi yang dinilai tidak fair. Menurut dia, baru kali ini jaksa agung digugat bawahannya karena dinilai tidak adil dalam melakukan mutasi dan promosi. “Gugatan dari internal seperti itu belum pernah ada,” ungkapnya. Jaksa agung harus bijaksana dalam memutasi dan mempromosikan pegawai. Kinerja dan prestasi harus menjadi acuan. “Bukan karena faktor kedekatan atau like and dislike,” ungkapnya. Dia menambahkan, jaksa agung harus tegas kepada bawahan yang melakukan pelanggaran. Baik pelanggaran disiplin maupun pidana. Jika ada jaksa yang melakukan korupsi dan pidana lain, jaksa agung harus tegas dalam memberikan sanksi. Selama ini ada beberapa jaksa yang terbelit korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kejaksaan bisa bekerja sama dengan KPK untuk mengusut dan mendukung penanganan perkara tersebut. Dengan adanya masukan dan kritik dari ICW dan lembaga lain, kejaksaan harus berbenah diri. Kritik dari eksternal itu menjadi bahan perbaikan agar kejaksaan lebih baik. Kritik tersebut didasari pada fakta yang ada. “Kenyataannya seperti itu, ya harus diterima,” papar Halius. Sementara itu, MaPPI FHUI menyoroti buruknya pengelolaan anggaran perkara. Peneliti MaPPI FHUI Aulia Ali Reza mengatakan, jaksa agung tidak serius dalam menangani masalah pengelolaan anggaran di instansinya. Misalnya, menyangkut target anggaran penanganan perkara. Pada 2016 anggaran yang disiapkan hanya untuk penanganan 81.869 perkara. Padahal, pada tahun sebelumnya, anggaran yang dialokasikan untuk 120 ribu perkara. Selain alokasi total anggaran perkara, masalah lain muncul dari satuan anggaran perkara. Saat ini kejaksaan hanya mengalokasikan anggaran Rp3 juta hingga Rp6 juta per perkara. “Anggaran tersebut disamaratakan untuk seluruh wilayah kejaksaan negeri (kejari) tanpa ada pembedaan jenis perkara,” jelas Ali. Persoalan anggaran tersebut berdampak pada kinerja kejaksaan. Pertama, terkait kualitas penegakan hukum. Misalnya, jaksa akan menekan biaya yang diperlukan dalam proses pra penuntutan dan persidangan. Menurut Ali, jika hal itu terjadi, kualitas penanganan perkara tentu tidak bisa maksimal. “Kedua, keterbatasan anggaran akan membuka potensi praktik korupsi,” ujarnya. Pernyataan Ali itu setidaknya terbukti dari banyaknya oknum jaksa yang bermain dalam penanganan perkara. Di luar perencanaan anggaran, MaPPI FHUI bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga menemukan 200.000 berkas perkara yang statusnya tidak jelas. Temuan tersebut muncul setelah mereka mencocokkan antara jumlah berkas perkara pidana umum yang dikirimkan kepolisian dan berkas pidana umum yang diterima kejaksaan.  “Jadi, koordinasi antara kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan perkara juga tidak baik,” kata Ali. Hal tersebut tentu tidak dapat dibiarkan karena penundaan proses hukum bisa berlarut. Hal itu juga berdampak pada pelanggaran hak kepastian hukum, baik dari korban maupun tersangka. Sebenarnya sejak 2015 ada strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan program tersebut, seharusnya penerapan sistem penanganan perkara terintegrasi antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bisa dilakukan. “Sayangnya, penerapan sistem ini belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh jaksa agung,” tegas Ali. Mengenai permasalahan barang sitaan, barang rampasan, denda, dan uang pengganti, MaPPI FHUI punya pandangan yang sama dengan ICW. Mereka sepakat bahwa jaksa agung tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Prasetyo tidak mampu memaksimalkan masuknya uang negara yang menjadi tugas instansinya. Sebagaimana diketahui, dalam laporan tahunan 2015 disebutkan bahwa kejaksaan hanya bisa merealisasikan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Rp704.674.783.420. Uang itu berasal dari penyelesaian barang sitaan, barang rampasan, denda, dan uang pengganti. Menurut Ali, jika dibandingkan dengan target PNBP kejaksaan, nilai sebesar itu pasti diklaim menjadi prestasi Adhyaksa. ”Memang realisasi itu melampaui target. Tapi, kalau dilihat lagi berdasar PNBP tahun sebelumnya, ya terjadi penurunan drastis,’’ terangnya. Pada 2014 kejaksaan memang mampu menghasilkan PNBP Rp3.449.761.335.896. Realisasi PNPB pada 2014 bisa melonjak drastis karena ada pembayaran denda dari Asian Agri Group sebesar Rp2,5 triliun. Pembayaran denda Asian Agri Group tersebut memang layak menjadi prestasi kejaksaan. Namun, hal itu terjadi sebelum M. Prasetyo dilantik sebagai jaksa agung. Ali menambahkan, penurunan PNBP tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi, kondisi perekonomian Indonesia tengah sulit. Seharusnya Prasetyo mampu mengatasi masalah lambatnya eksekusi barang sitaan, barang rampasan, denda, dan uang pengganti. Apalagi, berdasar laporan BPK pada 2016, kejaksaan memiliki piutang PNBP Rp15.734.835.953.479. (atm/lum/c7/nw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: