Tetapkan Dahlan Tersangka, Kejati Jatim Langgar Sejumlah Prosedur

Tetapkan Dahlan Tersangka, Kejati Jatim Langgar Sejumlah Prosedur

SURABAYA- Penyidik pidana khusus Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) melakukan kecerobohan sekaligus pelanggaraan hak asasi manusia dalam penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka dugaan penyelewengan di PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim. Itu terungkap dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (21/11). Yang paling mencolok adalah terbitnya surat perintah penyidikan (sprindik) pada hari yang sama dengan penetapan tersangka atas nama Dahlan pada 27 Oktober 2016. Parahnya lagi, pada hari itu juga langsung dilakukan penahanan. “Itu termasuk tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum,” kata Prof Nur Basuki Minarno, pakar hukum Universitas Airlangga yang menjadi saksi ahli dalam sidang kemarin. “Itu adalah pelanggaran hak asasi manusia,” tegasnya. Nur menjelaskan, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam mengumpulkan alat bukti untuk membuat terang sebuah peristiwa dan mencari pelaku. Sedangkan tersangka adalah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana berdasar bukti permulaan yang cukup. Sprindik merupakan tahap awal penyidik untuk memulai penyidikan. Sebab, saat itu belum ada barang bukti maupun alat bukti. “Kalau keluar bersamaan (sprindik dan penetapan tersangka, red), pertanyaannya, apa dasar seseorang ditetapkan sebagai tersangka? Padahal, dengan sprindik, baru akan mengumpulkan alat bukti dan barang bukti,” tutur dia. Pieter Talaway, salah seorang anggota tim kuasa hukum Dahlan, mempertanyakan perihal sprindik umum dan khusus. Sebab, jaksa menyatakan telah mengeluarkan sprindik umum pada tanggal 30 Juni 2016, kemudian sprindik khusus pada tanggal 27 Oktober 2016 atas nama Dahlan. Menanggapi hal itu, Nur mengatakan, dalam KUHAP tidak dikenal sprindik umum maupun sprindik khusus. “Sprindik hanya satu, yang dijadikan acuan penyidik dalam melakukan penyidikan,” tegas guru besar Unair itu. Menurut dia, permintaan keterangan tidak termasuk kegiatan penyidikan. Hasil tanya jawab dalam permintaan keterangan itu tidak bisa dijadikan bukti. Jika sprindik tidak sah, lanjut Nur, semua turunannya ikut menjadi tidak sah. Misalnya bukti yang dikumpulkan, permintaan keterangan saksi, sampai tindakan penetapan tersangka dan penahanan. “Sebab, sprindik merupakan dasar kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan,” paparnya. Dalam penjelasannya, Nur juga menegaskan bahwa sidang praperadilan tidak otomatis gugur meski perkara pokoknya sudah dilimpahkan ke pengadilan. Dia mengatakan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK), permohonan praperadilan gugur jika perkara pokok diperiksa. Yaitu ketika sidang pertama digelar dengan agenda pembacaan surat dakwaan. “Bukan ketika perkara didaftarkan,” tegasnya. Indra Priangkasa, anggota lain tim kuasa hukum Dahlan, selanjutnya mempertanyakan syarat penyitaan dokumen notaris oleh penyidik. Sebab, dokumen itu menjadi salah satu bukti yang dipegang penyidik. Sebagai dosen yang mengajarkan materi kenotariatan, Nur mengatakan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa penyitaan dokumen yang terkait dengan kenotariatan harus atas persetujuan majelis kehormatan notaris. “Jika notaris itu meninggal dan belum ada penunjukan penggantinya, maka tetap harus seizin majelis kehormatan notaris. Bahkan, ahli waris pun tidak berwenang memberikan dokumen tersebut,” paparnya. Hal mendasar lain yang menunjukkan kesewenang-wenangan penyidik Kejati Jatim adalah penghitungan kerugian negara. Nur memastikan bahwa hal itu hanya bisa dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal tersebut didasarkan pada serentetan peraturan perundang-undangan. Antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Ada juga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Dalam sidang tersebut, jaksa selaku termohon sempat bertanya dengan membacakan pertimbangan putusan salah satu gugatan di MK. Intinya, dalam menghitung kerugian negara, KPK bisa bekerja sama dengan BPK, BPKP, atau instansi lain. Mendengar pertanyaan itu, Nur menjawab dengan tegas. “Itu pertimbangan. Bukan putusan,” ucapnya. Nur mengatakan, penghitungan kerugian negara harus sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Dia mempertanyakan kemampuan aparat penegak hukum untuk melakukan penghitungan sesuai standar tersebut. Perihal peran BPK dalam penghitungan kerugian negara itu juga ditegaskan oleh Prof Mudzakkir. Dia mengatakan, sebelum tersangka ditetapkan, seharusnya diperiksa terlebih dulu tindak pidana apa yang disangkakan. Menurut dia, penyidik harus membuktikan unsur-unsur tindak pidana sebelum menetapkan tersangka. “Kalau tiba-tiba dijadikan tersangka dulu, unsur-unsur belum diproses, penetapan tersangka jadi bermasalah. Bagaimana menetapkan tersangka, sedangkan unsur tindak pidana belum terpenuhi,” Tanya dia. ”Tanpa adanya perhitungan kerugian negara, jadinya seperti menyidik pembunuhan, tapi siapa yang dibunuh belum jelas,” lanjutnya. Hal itulah yang dilihat Prof Mudzakkir dalam penetapan Dahlan sebagai tersangka dalam kasus PT PWU. Dia belum bisa menangkap unsur-unsur pidana. Kejadian yang diusut terjadi sepuluh tahun lalu. Karena itulah, unsur tindak pidana harus ditemukan dulu. Jika unsur tersebut terpenuhi, baru dicari siapa yang harus bertanggung jawab. Guru besar sekaligus ahli hukum pidana UII itu juga mempertanyakan apakah tindak pidana yang terjadi dalam ranah perseroan masuk tindak pidana korupsi. Dia mengatakan, perseroan terbatas (PT) bergerak dalam konteks swasta dan murni bisnis. Menurut Mudzakkir, meski sebagian saham PT milik negara, aturan yang berlaku harus tunduk dalam Undang-Undang Perseroan. Saham milik negara yang ada di PT tersebut dianggap sebagai kekayaan negara yang terpisahkan. Dia menegaskan, kalaupun ada tindak pidana, masuk ke ranah tindak pidana umum. “Bukan korupsi,” tegasnya. Sebab, subjek korupsi adalah penyelenggara negara. Kalau pun ada penyalahgunaan wewenang, penyelesaiannya menggunakan mesin-mesin swasta. “Orang bisnis kan feeling. Tapi kalau penyelenggara negara tidak boleh pakai feeling,” imbuhnya. Mudzakkir khawatir, jika PT bisa dijerat dengan delik korupsi, tujuan negara membentuk perseroan agar cepat dalam berbisnis tidak tercapai. “Kalau bisnis dimasuki aparat penegak hukum, maksud berbisnis agar mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya menjadi buyar,” ujarnya. Menurut dia, jika ada masalah di dalam perseroan, seharusnya cukup diselesaikan melalui RUPS. Sebab, dalam RUPS, ada orang yang ditunjuk pemerintah untuk mewakili kepentingannya. Jika terjadi penyalahgunaan kepengurusan, bisa dijatuhkan sanksi pecat atau yang bersangkutan diganti. “Tapi, kalau diaudit aparat penegak hukum, sistem negara dalam konteks BUMN dan BUMD menjadi rusak. Hukum memang ditegakkan, tapi bukan semuanya dikorupsikan,” tegasnya. Jaksa: Saksi Ahli Pelacur Akademik Selain mengungkap kesewenang-wenangan penyidik, sidang praperadilan kemarin diwarnai sikap kontroversial jaksa yang mewakili Kejati Jatim. Ahmad Fauzi, salah seorang jaksa, dalam jawaban permohonan praperadilan menuding saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang praperadilan sebagai pelacur akademik. Jaksa menyebut saksi ahli seperti itu sebagai senjata bayaran. Jaksa menganggap saksi ahli memberikan keterangan dengan hanya berorientasi pada uang. Jaksa juga menyebut hakim agar tidak hanya pandai bersilat lidah. “Memberikan pendapatnya di muka sidang bukan untuk menyampaikan kebenaran, tetapi semata-mata untuk memperoleh sejumlah uang,” kata Fauzi. ”Hal itu menimbulkan kesesatan, pengkhianatan integritas akademik, serta apa yang disebut dengan pelacuran akademik,” lanjutnya. Ungkapan jaksa tersebut tentu saja memantik reaksi dari Prof Nur Basuki Minarno yang kemarin menjadi saksi ahli. Dalam sidang, dia mengajukan protes dengan sebutan pelacur akademik untuk ahli yang hadir dalam ruang sidang. ”Sebenarnya jaksa telepon saya (minta agar jadi saksi yang diajukan jaksa dalam praperadilan, red). Tapi, saat itu saya sudah menyanggupi menjadi ahli yang dihadirkan pemohon. Saya menolak,” ucapnya. Nur menambahkan, ucapan jaksa tersebut bisa membuat marah kalangan akademisi. Sebab, itu sama saja melecehkan dunia akademisi. Menurut dia, jika tidak di dalam sidang, ucapan itu bisa dituntut secara pidana. Nur menegaskan, meski hadir sebagai ahli yang dihadirkan pemohon, dirinya memastikan memberikan penjelasan sesuai dengan keahliannya. “Jangan dikira kalau saya dihadirkan pemohon saya akan membela pemohon. Tidak begitu. Saya berbicara sesuai fakta hukum,” tegasnya. Menurut Nur, ahli akan memberikan pendapat sesuai ilmu pengetahuannya.  (atm/c11/c10/ang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: