Guru Honorer; Ngajar Lebih Berat, Gaji Lebih Sedikit

Guru Honorer; Ngajar Lebih Berat, Gaji Lebih Sedikit

Setiap 25 November, hari guru diperingati dan dirangkaikan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia (HUT-PGRI). Di usia yang ke-71 tahun, para guru yang berstatus honorer masih berkutat dengan persoalan kesejahteraan. DI tengah tuntutan untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa dan meningkatkan kualitas pendidikan, para guru honorer juga mesti menghadapi realita kehidupan. Tuntutan yang dibebankan kepada mereka, tak sebanding dengan apa yang diterima. Padahal, para guru honorer ini sangat dibutuhkan, khususnya di tingkat sekolah dasar. Lantaran sampai saat ini tenaga pendidik dan kependidikan jumlahnya masih jauh dari cukup. Sayangnya, meski butuh guru, pemerintah juga seolah tak punya upaya lain, karena terbentur aturan moratorium pengangkatan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Para guru honorer yang kini mengabdi di Kota Cirebon, rata-rata sudah belasan tahu. Mereka bertahan di tengah penghasilan yang serba minim. Salah satunya, Diana Nurrohmah (36). Diana mengabdi 12 tahun sebagai guru honorer. Saat awal mengajar, dirinya hanya mendapatkan bayaran Rp300 ribu per bulan. Honor tersebut ia dapatkan dengan beban mengajar selama enam hari dalam sepekan. Rp300 ribu itu tentu tak sebanding dengan pengorbanannya. Bahkan untuk transportasi saja, tidak mencukupi. Untuk menambah isi kantongnya, Diana sempat mengajar di sekolah lain hingga sore hari. Apabila hanya mengajar di satu sekolah, jelas tidak akan mencukupi kebutuhan hidupnya. “Di dunia pendidikan ini beda ya sama orang swasta. Kita semangatnya pengabdian, itu akhirnya menimbulkan cinta,” katanya. Dia tentu kerap mendengar pegawai swasta yang berpindah-pindah perusahaan demi mendapat kesejahteraan yang lebih baik. Tapi, hal seperti ini tidak berlaku di dunia pendidikan. Pilihannya hanya menjalani apa yang sudah menjadi kewajiban, meski hak yang didapat sama sekali tidak memberikan kesejahteraan. \"Ya dilakoni dan disabarin aja, banyak temen-temen guru honorer lain yang gajinya juga nggak seberapa, ada yang dibayar Rp15 ribu per jam,\" ungkapnya. Tentu saja, pendapatan Rp15 ribu sangat tidak layak. Jangankan dibandingkan dengan gaji guruh yang menggunakan standar Upah Minimum Kota (UMK). Bila dibandingkan dengan argo taksi saja, gaji guru tidak ada apa-apanya. Gaji guru honorer per jam itu, sama dengan argo taksi yang berjalan sejauh dua kilometer dengan waktu tempuh rata-rata 10 menit. Diana berharap di peringatan hari guru ini, pemerintah terketuk untuk memberi perhatian kepada guru honorer.  Apalagi, selama ini para guru honorer tak banyak menuntut dan menerima kondisi yang dihadapi di lapangan termasuk konsekuensi upah yang sangat minim. \"Harapan untuk menjadi PNS tetap ada, pemerintah tolong tidak menghapus insentif kami, cuma gara-gara (pengelolaan) diambil provinsi,” tuturnya. Guru honorer lainnya, M Imron juga menyampaikan hal serupa. Selain gajinya kecil, guru honorer yang mengabdi di sekolah negeri tidak punya peluang diikutsertakan dalam sertifikasi guru. Proses untuk mengurus sertifikasi ini juga sangat berbelit. Sementara rata-rata guru honorer saat ini hanya mendapat upah Rp500 ribu per bulan. “Ya terpaksa nyabang,” selorohnya. Pihaknya juga mengeluhkan kesenjangan tugas dan jabatan antara guru honorer dan PNS bersertifikasi. Fenomena yang ada saat ini, rata-rata untuk pembagian tugas belajar dan mengajar disamaratakan. Kadang guru honorer justru kebagian porsi lebih berat. Bahkan ada guru honorer merangkap menjadi operator. Padahal, kesejahteraan PNS bersertifikasi dengan guru honorer ibarat bumi dan langit. Di lain pihak, Kepala Dinas Pendidikan, Drs H Jaja Sulaeman MPd mendorong para guru honorer untuk tetap mengabdi. Pihaknya tengah berupaya untuk memperjuangkan nasib guru dan tenaga kependidikan. Terlebih, Kota Cirebon saat ini kekurangan guru dan tenaga kependidikan PNS. \"Kami prihatin sebetulnya melihat upah yang didapat guru honorer. Intensif yang diberikan pemerintah Rp300 ribu per bulan di tingkat SD, karena jumlah anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya 15 persen,\" katanya. Jaja menjelaskan, terkait pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat sesuai dengan Peraturan Pemerintah 48/2008. Untuk itu, perlu adanya aturan yang menaungi guru, khususnya terkait pendanaan pendidikan di tingkat daerah. Dinas pendidikan, kini tengah mengusulkan melalui Komisi C DPRD Kota Cirebon untuk membuat peraturan daerah terkait pendanaan pendidikan. \"Sedang disiapkan dan dikaji, nanti diusulkan ke walikota. Termasuk di dalamnya nanti ada pendanaan pendidikan untuk guru honorer,\" katanya. Di peringatan Hari Guru ini, Jaja berharap kesejahteraan guru semakin meningkat dan dibarengi pula dengan kualitas  mengajar. Sehingga mutu pendidikan di Kota Cirebon dapat terus ditingkatkan dan menghasilkan generasi penerus yang handal serta mampu bersaing. Sementara itu, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), H Abdul Haris mengungkapkan, dalam dana bantuan operasional (BOS) angaran untuk guru honorer hanya 15 persen. Jumlah ini terbilang kecil, apalagi sekarang honorium ini turun jadi lima  persen. Padahal, sebelumnya guru honorer mendapat 20 persen dari dana BOS. Penurunan honorarium ini memang sangat disayangkan. Sebab, di lapangan terjadi kekurangan tenaga pengajar (guru). Kemudian pemerintah juag menghadapi persoalan yakni keterbatasan anggaran untuk menggaji para guru tersebut. \"Ini sangat dilematis, disatu sisi memang kekurangan guru tapi disisi lain anggaran untu gaji guru pun sangat terbatas yakni hanya 15 persen dari dana BOS,\" katanya. Haris berharap pemerintah daerah memiliki kebijakan baru yang dapat mensejahterakan guru honorer. Apalagi, dinas pendidikan juga mendorong agar anggaran pendidikan agar nilainya lebih pantas. (mike dwi setiawati/nurvia pahlawanita)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: