Kasus Ahok Dilimpahkan ke Kejagung

Kasus Ahok Dilimpahkan ke Kejagung

BARESKRIM melimpahkan berkas perkara kasus dugaan penistaan agama ke Kejaksaan Agung kemarin. Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) menargetkan perkara dugaan penistaan yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama itu akan bisa disidangkan dalam dua minggu. Karopenmas Divhumas Polri Kombespol Rikwanto menjelaskan, berkas perkara yang telah selesai dan dilimpahkan tahap satu ini diharapkan bisa segera untuk diproses. “Ini menunjukkan Polri segera menindaklanjuti kasus sensitif semacam ini,” tuturnya. Bagian lain, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad mengatakan bahwa sudah ada 13 jaksa yang ditunjuk untuk menangani kasus dugaan penistaan agam tersebut. Langkah pertama yang akan ditempuh adalah mengkaji berkas perkara tersebut. “Kami lihat semua dulu,” ujarnya. Setelah itu, tentunya harus dilihat kesesuaian antara berkas perkara dengan barang bukti yang dimiliki. Dia mengatakan, kalau dipandang perlu, tentu nantinya bisa dibutuhkan barang bukti tambahan. “Ya, itu dulu,” terangnya. Ada tiga bundel berkas gelar perkara setebal 826 halaman yang harus diperiksa. Menurutnya, untuk memeriksa semua berkas itu diperlukan waktu sekitar satu minggu. Namun, karena dilihat berkas perkara yang sudah cukup komprehensif, maka ada target dalam dua minggu kasus dugaan penistaan agama ini bisa diajukan ke pengadilan. “Dalam dua minggu kasus ini bisa ke pengadilan,” jelasnya. Dia mengatakan, Kejagung akan memproses kasus Ahok itu dengan terbuka dan tanpa ada campurtangan pihak lainnya. “Kami proses secepat mungkin, kalau ada perkembangan akan langsung diumumkan,” ujarnya. Selain itu, terkait rencana demonstrasi pada 2 Desember mendatang, Polri ternyata mengeluarkan imbauan untuk melarang perusahaan bus untuk mengantar peserta demo ke Jakarta. Menanggapi itu, Rikwanto mengatakan bahwa itu hanya imbauan. ”Agar tidak melampaui trayek yang telah ditetapkan,” paparnya. Sementara Direktur Eksekutif Partnership for Advancing Demoncracy and Integrity (PADI) M. Zuhdan menjelaskan, sebenarnya pola komunikasi Polri terkait demonstrasi ini masih bermasalah dan condong dengan pendekatan kekuasaan. ”Belum mengimplementasikan polisi sipil atau masyarakat,” jelasnya. Seharusnya, Polri hanya memiliki kewenangan untuk menjaga ketertiban dalam demonstrasi. Bukan, untuk melarang dan menghalangi kegiatan berpendapat di depan umum. ”Dengan sikap tersebut, maka justru terlihat Polri masih politis,” paparnya. Dia mengatakan, seharusnya Polri itu mendekati masyarakat yang ingin melakukan aksi demonstrasi. Misalnya, dengan membuat pakta integritas agar menggelar aksi dengan damai. ”Pendekatannya harus berbeda dan jauh dari kesan sebagai alat politik,” paparnya. (idr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: