Disdikpora Kuningan Tidak Masalah UN Dihapus
KUNINGAN–Jika penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) dihapuskan, Kuningan siap melaksanakannya. Sekarang pun sebetulnya UN bukan faktor utama yang menentukan kelulusan siswa. Kalau ternyata nanti UN betul-betul dihapuskan bukan berarti ujian bersama yang bersifat kedaerahan ikut dihilangkan. “Sekarang juga UN itu bukan faktor utama yang menentukan lulus tidaknya siswa, melainkan semua proses pembelajaran selama 3 tahun. Sehingga pak menteri (Mendikbud) menginginkan agar UN ditiadakan, tapi itu pun diserahkan ke masing-masing daerah,” ungkap Kepala Disdikpora Dr A Taufik Rohman, usai menghadiri penyuluhan HIV/AIDS di SMPN 1 Garawangi, Kamis (1/12). Kendati nanti UN dihapuskan, lanjut pejabat yang akrab disapa Opik itu, terdapat ketentuan yang harus dilakukan daerah. Jangan sampai karena tidak ada UN, maka seluruh siswa dinyatakan lulus. Kriteria seperti budi pekerti mesti jadi salah satu tolok ukur yang menentukan kelulusan siswa. “Makanya sekarang masih sedang dibahas oleh presiden. Kalau keputusannya oke, berarti tahun ini tidak ada UN. Tapi tetap ujian bagi siswa kelas akhir itu ada,” ujarnya. Untuk Kabupaten Kuningan, dia menegaskan kesiapannya apabila UN betul-betul dihapuskan. Sebetulnya sejak dulu pun Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan seperti itu. Pelaksanaannya sementara baru di tingkat SD sehingga hanya ada ujian bersama. “Untuk tingkatan SMA pun kita juga siap menjalankan UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). Jika nanti UN jadi dihapuskan, kita tetap siap untuk melaksanakan ujian daerah dengan berbasis komputer,” tandasnya. Lebih jauh, doktor muda satu ini memberikan penjelasan terkait kurikulum pendidikan yang digunakan, 24 jam mengajar dan kebijakan full day school. Untuk kurikulum, di Kuningan masih menggunakan kurikulum 2006 dan 2013. Proses peralihan dari kurikulum lama ke kurikulum baru, tengah dilaksanakan secara bertahap. “Di Kuningan baru 25 persen dari total sekolah yang ada, yang telah menggunakan kurikulum 2013 atau kurtilas. Pada 2019 nanti, semuanya sudah kurtilas,” terangnya. Sedangkan untuk 24 jam mengajar, ia menjelaskan, merupakan keharusan seorang guru mengajar dalam rentang waktu sepekan. Apabila full day school diterapkan, jam mengajar guru wajib 8 jam dalam sehari. “Untuk kepala sekolah tidak wajib mengajar,” jelasnya. Full day school tersebut, kata Opik, sebetulnya sudah diterapkan sekarang ini. Hanya saja belum diformalkan. Ia mengambil contoh SMAN 2 Kuningan, para siswanya baru pulang sekolah pada pukul 17.00 WIB. Jika sudah diformalkan, maka jam belajar mengajar sampai pukul 15.00 WIB dengan hari libur 2 hari yaitu Sabtu-Minggu. Bagaimana dengan siswa SD yang siang harinya belajar agama di Madrasah Diniyah (MD)? “Bisa saja di combine (kombinasikan, red). Misal sekolah umum, proses ke MD saja. Itu juga sama full day school kan. Boleh impor guru MD ke SD atau boleh juga SD ke MD. Yang terpenting pendidikan itu bisa menciptakan anak yang cerdas secara intelektual, cerdas secara moral dan cerdas secara agama,” jelasnya. Terlebih, sambung Opik, ada muatan lokal bagaimana menyeleraskan antara jiwa dan raga. Sehingga menurutnya hal itu jangan dipermasalahkan. “Kata menteri juga kan ada muatan lokal gimana me-matching-kan antara jiwa dan raga. Jadi kalau pulang jam 3 sore dengan rangkaian tadi (sekolah MD, red), enggak apa-apa, kan harus cerdas secara agama juga,” imbuhnya. Ia menganggap wajar apabila masih banyak guru yang masih kebingungan. Jangankan soal full day school, mengenai kurikulum dan 24 jam mengajar pun biasanya guru kebingungan pada awalnya. “Di awal-awal biasanya masih kebingungan. Tapi kalau sudah terbiasa sih saya yakin enggak bingung lagi,” pungkasnya. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: