Dr Yenny Meliana Buat, Bikin Obat Antimalaria Paling Ampuh

Dr Yenny Meliana Buat, Bikin Obat Antimalaria Paling Ampuh

Parasit protozoa yang menyebabkan penyakit malaria sudah mulai kebal terhadap pil kina. Peneliti LIPI Dr Yenny Meliana pun berupaya membuat formulasi baru untuk mengatasi serangan malaria. Laporan: M HILMI SETIAWAN, Tangerang Selatan MASUK laboratorium kantor Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terlihat puluhan tabung reaksi tertata rapi. Beberapa berisi cairan aneka warna. Di salah satu meja kerja laboratorium, Yenny Meliana terlihat sedang memperhatikan suatu reaksi kimia. Matanya tertuju pada peralatan kromatografi kolom yang terdiri atas beberapa tabung kaca. Perempuan kelahiran Curup, Rejang Lebong, Bengkulu, 17 Oktober 1976, itu lantas menyudahi kegiatannya. Dia lalu menjelaskan risetnya yang bertujuan membuat formulasi obat paling ampuh untuk mengatasi serangan malaria. Dia menuturkan, saat ini obat yang digunakan untuk malaria adalah pil kina. Dalam perkembangannya, parasit protozoa yang menyebabkan malaria sudah mulai kebal terhadap pil kina. ’’Sehingga kita butuh formulasi obat baru yang lebih kuat,’’ jelasnya. Istri Rocky Alfanz itu menjelaskan, riset yang dilakukan adalah pengembangan dari riset yang sudah berjalan di Pusat Penelitian Kimia LIPI. Riset yang sudah berjalan tersebut adalah membuat bahan baku obat antimalaria. Bahan baku obat antimalaria yang dia teliti berasal dari tanaman Artemisia annua. Bentuk daun pohon yang berasal dari Tiongkok itu mirip kenikir. Di dalam prosesnya, pohon itu dikeringkan, lantas diambil ekstraknya yang disebut artemisinin yang umumnya berbentuk gumpalan kristal. Besarnya bergantung, kadang bisa sebesar kepalan orang dewasa. Setelah ekstrak pohon Artemisia annua itu berhasil diproduksi, dilakukan proses kembali, sehingga menghasilkan dihydroartemisinin (DHA). Proses menjadikan ke DHA itu penting karena kalau masih dalam bentuk kristal, bahan baku obat tersebut tidak bisa larut dalam air. ’’Yang namanya obat oral itu, lebih efektif khasiatnya jika bahannya larut dalam air,’’ tutur perempuan yang masuk LIPI pada 2005 tersebut. Proses itu bisa memakan waktu sampai 55 hari. Selain itu, dibutuhkan biaya tambahan untuk membeli zat-zat kimia lainnya. Sistem pembuatan obat antimalaria yang memakan waktu sampai 55 hari dan berbiaya mahal tersebut pernah disodorkan ke dunia industri. Namun, respons dari dunia industri tidak menggembirakan. Dengan ongkos produksi yang begitu besar, bahan baku obat itu tidak menarik untuk diproduksi masal. Menurut dia, obat untuk malaria harus terjangkau. Dia memperkirakan, harga setiap setrip obat malaria yang ideal adalah Rp30 ribu sampai Rp35 ribu. Tetapi, jika proses pembuatan bahan baku obat antimalaria masih menggunakan sistem dari kristal ke DHA, dibutuhkan biaya besar. Akhirnya dia menggunakan teknologi nano untuk membuat bahan baku obat antimalaria. Soal itu, Yenny sudah memiliki pengalaman luas. Dia pernah membuat krim antiselulit dari ekstrak tanaman pegagan. Tanaman yang biasanya digunakan sebagai lalapan kuliner Sunda itu efektif mengatasi selulit ringan sampai berat. Lulusan program doktor teknik kimia National Taiwan University of Science and Technology itu menjelaskan, peran teknologi nano yang dilakukan adalah menjadikan kristal ekstrak tanaman Artemesia annua itu berukuran superkecil. Satu nano adalah satu per miliar meter. ’’Sebagai gambaran, nano itu ukurannya diameter sehelai rambut masih dipecah-pecah lagi,’’ tutur kepala Bidang Diseminasi dan Pengolahan Hasil Penelitian, Pusat Penelitian Kimia, LIPI, tersebut. Meski ekstrak tanaman itu diolah dengan teknologi nano, khasiatnya tidak boleh berkurang. Pengolahannya tidak boleh berada di suhu 40 derajat Celsius karena kandungannya bisa rusak. Ada banyak keunggulan ketika kristal ekstrak tanaman Artemisia annua itu bisa diubah menjadi ukuran nano. Di antaranya, bisa mengepras waktu pengolahan dari sebelumnya 55 hari. Selain itu, hasil pengolahan dengan teknologi nano bisa membuat penggunaan bahan baku obat menjadi lebih cepat. ’’Karena wujudnya sangat kecil, bisa langsung larut dalam air. Sehingga tidak perlu tambahan-tambahan zat kimia,’’ katanya. Meski nanti wujud bahan baku obat antimalaria tersebut serbuk yang sangat halus, Yenny mengatakan cukup mudah dikonsumsi. Nanti tinggal dilakukan proses penyatuan atau perekatan sehingga menyerupai tablet. Ketika ditelan, tablet itu larut dengan air di tubuh manusia. Atas riset bahan obat antimalaria berbasis teknologi nano itu, Yenny berhasil menjadi pemenang L’Oreal Indonesia for Woman in Science 2016. Pada ajang riset untuk perempuan-perempuan di bawah usia 40 tahun itu, Yenny menjadi satu di antara empat pemenang. Setelah Yenny melakukan presentasi, dewan juri merespons positif. Risetnya itu dinilai memiliki manfaat besar bagi umat manusia. Kemudian, pemanfaatan teknologi nano untuk membuat obat antimalaria merupakan riset terbaru. Dia mengatakan, riset obat antimalaria dari tanaman Artemisia annua itu memiliki target besar. Yakni, pada 2019–2020 sudah dilakukan produksi masal. Artinya, saat ini Indonesia sudah memiliki bahan baku obat nasional untuk antimalaria. ’’Kita optimistis mengejar target itu,’’ kata dia. Sebagai gambaran, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes 2010 menunjukkan adanya 2 juta orang penderita malaria. Berdasar jumlah itu, dibutuhkan 720 kg serbuk ekstrak tanaman Artemisia annua. Untuk menghasilkan ekstrak sebanyak itu, dibutuhkan 450 ton tanaman Artemisia annua kering. Arthur Lelono, mitra kerja Yenny di Pusat Penelitian Kimia LIPI, menuturkan bahwa target itu digarap secara konsorsium. Selain LIPI, pihak yang terlibat adalah Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Pertanian (Kementan), ITB, dan Indofarma. Untuk menyiapkan bahan utama pembuatan bahan baku obat itu, saat ini sudah dilakukan pembudidayaan tanaman asal Tiongkok tersebut di dua tempat. Yakni, di lahan milik Balai Besar Penelitian Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2PTO2T) Kemenkes di daerah Tawangmangu serta lahan milik LIPI di Cibodas. Arthur menuturkan, penggunaan ekstrak tanaman iklim subtropis itu sudah mendapatkan pengakuan dari WHO. Negara-negara dengan kasus malaria yang tinggi saat ini berlomba membuat formulasi obat antimalaria. ’’Pada prinsipnya, nanti tetap digabung dengan bahan pembuat pil kina,’’ jelasnya. Tujuannya, mengatasi parasit malaria yang mulai kebal obat pil kina. (*/c10/oki)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: