Waduh, Dana Bencana Berkurang Drastis Tersedot Pilkada

Waduh, Dana Bencana Berkurang Drastis Tersedot Pilkada

JAKARTA - Anggaran untuk mengatasi bencana berkurang drastis tahun ini. Bukan hanya di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tapi di juga di pemerintah daerah. BNPB khawatir di tengah bencana yang semakin sering mengancam akan kesulitan mengatasinya. Pada 2016, total anggaran yang dimiliki BNPB sebesar Rp 2,2 triliun. Selain itu ada dana cadangan Rp 4 triliun. Sedangkan pada 2017, dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana di BNPB sekitar Rp 1,2 triliun. Ada berbedaan Rp 1 triliun dari tahun sebelumnya. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, pengurangan dana itu sedikit banyak akan berpengaruh pada penganganan bencana. Apalagi, dalam setiap tahun rata-rata kebutuhan penanganan bencana sebenarnya mencapai Rp 15 triliun. “Pencukupannya dibantu dari kementerian dan lembaga,” kata dia, Senin (2/1). Laporan yang dia terima, dana penanganan bencana juga berkurang di daerah. Ternyata salah satu penyebabnya dana untuk penanganan bencana itu tersedot untuk keperluan pemilihan kepala daerah. Dia mencontohkan sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Dana untuk penanganan bencana pada 2016 sebesar Rp 32 miliar. “Tapi 2017, hanya tinggal Rp 1 miliar. Pengurangannya drastis,” ungkap dia. Padahal dalam penanganan bencana itu perlu dana yang cukup besar untuk recovery. Dia memisalkan penanganan pasca bencana gempa bumi di Pidie Jaya, Aceh butuh sekitar Rp 2 triliun. Sedangkan banjir bandang yang menggenangi hampir seluruh kota Bima, Nusa Tenggara Barat butuh Rp1 triliun. “Alat-alat penanggulangan bencana juga masih terbatas. Setidaknya masih perlu seribu sirine tsunami juga,” imbuh dia. Peneliti mitigasi bencana Amien Widodo mengungkapkan pengurangan dana yang dialokasikan untuk penanganan bencana itu sebenarnya bukan alasan bagi kinerja BNPB atau BPBD. Justru mereka dituntut lebih aktif dalam pola pencegahan bencana. Khususnya soal mitigasi bencana. “Perlu didorong untuk penelitian dan pengembangan mitigasi bencana,” ujar dia. Dia mencontohkan, kerusakan gempa di Jogjakarta pada 2006 lalu bisa menjadi salah satu pelajaran yang sangat bagus. Banyak bangunan roboh karena struktur temboknya tidak dilengkapi dengan penyangga yang kuat. “Tidak pakai tulangan,” kata peneliti dari ITS itu. Semestinya ada semacam satu rumah contoh tahan gempa. Lantas rumah tersebut dijadikan sebagai role model bila masyarakat ingin merenovasi rumah atau membangun rumah baru. “Percontohan itu khususnya untuk selatan Jawa. Termasuk di Jawa Timur sebelah selatan yang rawan gempa,” tambah dia. (jun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: