Cerita Rakyat Korsel Pasca Presiden Park Geun-hye Dimakzulkan
Hampir sebulan ini, Presiden Korea Selatan Park Geun-hye dimakzulkan atas skandal penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat menyambutnya dengan berbagai ekspresi. Berikut catatan wartawan Jawa Pos (Radar Cirebon Group) HAIRUL FAISAL yang baru pulang dari sana. CUACA Seoul, ibu kota Korea Selatan, boleh saja memasuki musim dingin sejak awal Desember tahun lalu. Suhunya bahkan sampai minus 3 hingga 6 derajat Celcius. Butiran salju pun mulai berjatuhan. Namun, hawa superdingin itu tidak cukup ampuh untuk mendinginkan suasana politik Negeri Gingseng itu. Bahkan kian panas. Blue House, sebutan istana kepresidenan Republik Korea, tak seramah seperti hari-hari biasanya. Cenderung sepi. Presiden Park Geun-hye kini tak kelihatan lagi di gedung megah itu. Hanya, wajahnya masih sering muncul di layar TV maupun koran-koran setempat yang memberitakan perkembangan penyelidikan kasusnya. Hampir setiap saat warga membincangkannya. Misalnya seperti yang terlihat di Seoul Stasion. Pada hari-hari sebelumnya, TV di tempat publik itu menampilkan acara-acara musik K-pop dan drama Korea, yang memang tak pernah berhenti dalam 24 jam. Tapi, kini tidak ada lagi wajah-wajah baper karena sihir drama Korea yang melankolis itu. Semua berubah. Orang-orang yang kebetulan berada di Seoul Stasion dan menyaksikan tayangan TV di tempat itu tampak tegang. Mereka serius mengikuti berita perkembangan kasus yang melibatkan presiden perempuan 60 tahun itu. Saya sempat memperhatikan salah satu sudut di Seoul Stasion yang dikerumuni warga. Orang-orang itu ternyata sedang menyaksikan berita tentang perkembangan kasus Presiden Park Geun-hye. Mereka hampir tak berkedip dan bergerak selama beberapa menit berita itu ditayangkan salah satu stasiun televisi. Saat itu, ada wawancara seorang anggota parlemen dan pengamat politik. Hebatnya, meski diselingi iklan, orang-orang itu tak beranjak dari tempat mereka berdiri. Mereka tampak antusias berada di depan pesawat televisi 29 inci untuk menyaksikan kelanjutan wawancara tersebut. Sesekali terdengar komentar dari mereka. Malah ada yang kemudian seperti berdebat. Mungkin mereka berbeda pendapat. Suasana tambah seru. Puluhan orang yang baru turun dari kereta ikut bergabung di depan TV. Maka, kerumumannya tambah banyak. Tampak pula beberapa turis asing yang penasaran dan ikut melihat tayangan itu. Setelah beberapa lama berhenti di depan TV, kereta KTX yang akan membawa saya ke Busan pun tiba. Maka, perhatian saya pindah di dalam kereta komuter itu. Ternyata, pembicaraan sebagian penumpang masih seputar kasus presidennya. Min-ng Cheong, warga Seoul yang duduk bersebelah saya, bercerita panjang lebar tentang kondisi politik negaranya. Menurut dia, pemakzulan atas Park oleh Parlemen Korsel merupakan langkah politik yang tepat. Keputusan yang sangat dinanti mayoritas warga berpenduduk sekitar 51 juta jiwa itu. Pasalnya, tindakan yang dilakukan Park selama ini dianggap telah mencederai kepercayaan rakyat. Seperti diketahui, Parlemen Korsel memakzulkan Presiden Park Geun-hye yang dinilai telah melakukan tindakan menyalahgunakan kekuasaan. Dengan kekuasaannya, Park memberi fasilitas kepada teman wanitanya untuk memperkaya diri. Kasus itu akhirnya terbongkar. Rakyat pun bergejolak. ’’Mayoritas masyarakat (Korsel) ingin presiden cepat turun,” kata Cheong. Menurut pria berusia 34 tahun itu, rakyat Korsel telah kehilangan kepercayaan kepada Park. Presiden perempuan pertama sepanjang sejarah negara itu dinilainya sudah menyalahgunakan kepercayaan yang selama ini diberikan. Tak heran jika rakyat terus memantau perkembangan kasus Park. Meski warga Korsel kecewa dengan kasus yang membelit Park, mereka tetap menaruh hormat kepada presiden yang berkuasa sejak Februari 2013 itu. Hal tersebut ditunjukkan dengan aksi demonstrasi yang tidak berlebihan. Masyarakat menghormati setiap proses yang tengah berlangsung. Bersabar menunggu keputusan yang akan dikeluarkan mahkamah konstitusi (MK) terkait pemakzulan itu. ”Yang penting dari sekarang sampai enam bulan ke depan presiden tidak berhak lagi memerintah. Tetap jadi presiden tapi seperti bukan presiden lagi,” jelas Cheong serius. Tak hanya aktif mengikuti perkembangan berita melalui TV, ada warga Korsel yang mengekpresikan ’’jatuh’’-nya Presiden Park dengan berpesta. Baik di rumah maupun di restoran dan cafe. Bahkan, di antaranya ada yang melangsungkan selama seminggu beturut-turut. Cara itu dinilai lebih elok daripada berbuat tindakan yang justru akan merugikan nama baik negara. ”Setelah selesai dengan demo-demo di jalan, sekarang mereka ganti merayakannya di rumah-rumah atau restoran. Biar kehidupan mereka tetap berjalan normal seperti biasa,” ujar General Manager BNI Cabang Seoul Wan Andi Aryati ketika saya jumpai di kantornya. Sebagai perwakilan bank BNI, Wan memiliki hubungan cukup baik dengan berbagai kalangan di Korsel. Dengan begitu, dia mengetahui sikap dan ekspresi warga yang tinggal di negara dengan luas 100.210 km2 itu pasca Park dimazulkan. Bagi masyarakat yang penting keinginan dan suara mereka didengar oleh parlemen. Tak perlu larut dalam kekecewaan meski tuntutan mundur tak dituruti oleh Park. ”Kita salut kepada masyarakat Korea yang bijak dalam bersikap. Kita (warga Indonesia) mesti niru,” ungkap Wan lantas tersenyum. Meski kondisi politik Korsel sedang memanas, roda ekonomi negara itu tetap berjalan dengan baik. Bahkan, sektor wisata yang juga menjadi andalan mereka tidak terganggu. Contohnya, wisatawan asal Indonesia tetap berdatangan. Seolah tidak terjadi apa-apa. Menurut Koordinator Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya KBRI Seoul Fuad Adriansyah, kondisi sosial dan keamanan Korsel tidak tercederai oleh peristiwa politik. Wisatawan dari berbagai negara, termasuk Indonesia, tetap antre ke destinasi-destinasi wisata favorit. ”Saya belum mengecek berapa jumlahnya ( wisatawan asal Indonesia), tapi kayaknya normal seperti biasa. Nggak ada yang berubah,” papar Fuad. (*/ari)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: