92 Persen Setoran STNK-BPKB untuk Polisi, 8 Persen ke APBN

92 Persen Setoran STNK-BPKB untuk Polisi, 8 Persen ke APBN

KEPUTUSAN pemerintah menaikkan biaya pengurusan administrasi Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) hingga 300 persen terus menuai protes. Pemerintah pun menekankan bahwa sebagian setoran STNK dan BPKB yang masuk dalam pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), akan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Dirjen Anggaran Kemenkeu, Askolani, menuturkan, 92 persen setoran tersebut akan masuk ke Polri untuk digunakan dalam peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. “Pertimbangan penyesuaian tarif PNBP di kepolisian ini utamanya untuk peningkatan pelayanan. Sebab, PNBP yang jadi pemasukan kepolisian itu 92 persen digunakan untuk pelayanan di Polri. Jadi ini kembali ke masyarakat, tidak digunakan untuk yang lain dan hanya boleh digunakan untuk kegiatan pelayanan PNBP,” papar Askolani di Ruang Utama, Kantor Staf Presiden, Gedung Bina Graha. Askolani melanjutkan, sementaranya sisanya yang 8 persen, masuk ke APBN. Dia menegaskan, setoran tersebut nantinya akan digabung dengan anggaran belanja lainnya. “Jadi bisa untuk pendidikan, dana kesehatan dan juga yang lain,\"lanjutnya. Terkait tujuan kenaikan tarif setoran PNBP di kepolisian tersebut, Askolani menuturkan ada beberapa hal, di antaranya perlu adanya peningkatan fitur keamanan dan material STNK sebagai dokumen berharga pada layanan Samsat tiap daerah hingga seluruh Indonesia. Kemudian, juga diperlukan dukungan anggaran untuk melaksanakan peningkatan pelayanan STNK di Samsat. Ketiga, terkait meningkatnya biaya perawatan peralatan Samsat dan dukungan biaya jaringan agar dapat online seluruh Polres, Polda seluruh Indonesia ke Korlantas Polri (NTMC Polri). “Berikutnya, perlu adanya modernisasi peralatan komputerisasi Samsat seluruh Indonesia untuk mewujudkan standar pelayanan. Kelima, perlu dukungan anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana kantor Samsat seluruh Indonesia agar berstandar nasional,\" paparnya. Sementara dasar kenaikan setoran tarif STNK dan BPKB tersebut, Askolani menjelaskan adanya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menyebutkan bahwa selama ini pungutan di Polri tidak memiliki dasar hukum. \"BPK selama ini dalam mengaudit juga menemukan kelemahan, penetapan pemungutan tidak ada dasar hukumnya. Kedua, kalau kita memungut tidak sesuai tarifnya itu juga jadi temuan BPK,\" kata Askolani. Selain itu, kata Askolani, Dasar lain, biaya administrasi untuk pengurusan BPKB, SNTK dan lain sebagainya di Samsat belum ada penyesuaian sejak 2010. Padahal biaya bahan baku setiap tahun selalu naik. Namun, dia menegaskan bahwa tidak ada kenaikan pajak kendaraan bermotor. \"Biaya BPKB itu lima tahun sekali, bukan setahun sekali. Jadi bukan (kenaikan) biaya yang berlaku setiap tahun. Penyesuaian tarif ini bisa dibandingkan dengan biaya publik yang makin meningkat,\" imbuh Askolani. Soal penentuan kenaikan tarif STNK dan BPKB, Askolani menuturkan, usulan awal berasal dari Polri. Secara tersirat, dia menyatakan, usulan kenaikan tarif yang diajukan Polri lebih tinggi dari yang telah disepakati pemerintah. Dalam pembahasan di Kemenkopolhukam, disetujui adanya penurunan besaran tariff STNK dan BPKB yang diusulkan polri. “Usulan dari Polri karena semua usulan tarif PNBP itu dari K/L (Kementrian/Lembaga). Sebenarnya kalau dari pembahasan di Kemenkopolhukam, pas pembahasan itu banyak (usulan tariff) yang diturunkan,” ujarnya. Askolani juga mengakui jika proses pembahasan kenaikan tarif STNK dan BPKB, memakan waktu yang cukup lama dari biasanya. “Pada umumnya itu cuma 3-4 bulan, tapi ini sampai 15 bulan prosesnya,” imbuhnya. Di sisi lain, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi tidak setuju dengan keputusan tersebut. Menurutnya, alasan Menkeu dalam menaikkan tarif pembuatan STNK dan BPKB karena inflasi kurang tepat. Pasalnya, STNK dan SIM bukan produk jasa komersial tetapi pelayanan publik yang harus disediakan birokrasi. “Alasan inflasi akan tepat jika produk tersebut adalah produk ekonomi komersial yang berbasis cost production dan benefit. Atau setidaknya produk yang dikelola oleh BUMN,” jelasnya. Namun, jika harus ada kenaikan, dia menegaskan harus ada jaminan untuk meningkatkan pelayanan. Kenaikan itu harus paralel dengan reformasi pelayanan angkutan umum di seluruh Indonesia. Hal tersebut harusnya menjadi penyaluran visi pemerintah untuk mendorong migrasi ke angkutan umum. Sebelumnya, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transaparani Anggaran (Seknas Fitra) juga mendesak pemerintah agar membatalkan pemberlakuan kenaikan tariff STNK dan PNBP. Menurut Sekjen Fitra, Yenny Sucipto, kenaikan hingga 300 persen tidak sepadan dengan pelayanan yang diberikan Polri pada masyarakat, khususnya pelayanan pengurusan SIM, STNK dan BPKB yang rumit dan tidak transparan. Kemudian, pihaknya juga menyoroti bahan materi STNK dan BPKB yang kenaikan harganya tidak meningkat tajam. “Proses penyusunan PP Nomor 60 tahun 2016 ini juga tidak transparan. Misalnya, tidak ada uji publik sehingga masyarakat kaget tiba-tiba naik. Karena itu, kami merekomendasikan agar PP tersebut dibatalkan dan sebaiknya pemerintah mencari alternatif PNBP yang lebih efektif,” paparnya. (ken/bil/wan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: