Welcome Piala Dunia 48 Negara
ZURICH – Jangan pernah berhenti berharap Indonesia dapat merasakan atmosfer Piala Dunia. Terlebih setelah Gianni Infantino menduduki kursi Presiden FIFA sejak 26 Februari 2016 lalu. Karena, Infantino akhirnya mewujudkan salah satu janjinya ketika pemilihan presiden FIFA. Yaitu memperbanyak jumlah kontestan Piala Dunia. Bukan hanya 40 negara. FIFA di bawah Infantino memutuskan kontestan Piala Dunia nanti akan jadi 48 negara. Keputusan itu didapat dalam pertemuan FIFA di markas besarnya di Zurich, Swiss, pada Selasa petang WIB lalu (10/1). \'\'Kami ada di abad 21, dan kami harus membentuk Piala Dunia abad ke-21,\'\' kata Infantino setelah pertemuan, dikutip BBC. Terobosan 48 kontestan Piala Dunia itu baru akan diterapkan pada Piala Dunia 2026 mendatang. \'\'Ini Piala Dunia masa depan. Karena sepak bola itu tidak hanya milik Eropa dan Amerika Latin. Tetapi, milik global,\'\' lanjut Infantino. Kali terakhir, FIFA menambah jumlah kontestannya pada Piala Dunia di tahun 1998. Bedanya, saat itu tidak semasif perubahan Infantino. Dari Piala Dunia 1986 ke Piala Dunia 1998 hanya ada penambahan delapan kontestan. Bukannya sampai 16 kontestan seperti ide Infantino. Sukses sudah Infantino membuka peluang negara-negara seperti Indonesia yang selama ini kerap jadi penonton Piala Dunia untuk merasakan major tournament paling bergengsi ini. \'\'Karena banyak negara di dunia ini yang tidak berkesempatan main di Piala Dunia. Itu yang jadi pemikiran kami,\'\' klaim Infantino. Pertanyaannya, akankah Piala Dunia abad 21-nya Infantino ini bakal punya kualitas yang lebih bagus dari Piala Dunia sebelumnya? Jawabannya, malah lebih banyak esensi yang dikorbankan. Dengan 48 kontestan, maka jangan kaget apabila negara super power seperti Brasil, Jerman atau Italia hanya akan satu grup dengan negara semenjana. Sebut saja Somalia, Kepulauan Cayman, ataupun mungkin dengan Indonesia. Apalagi, CAF, AFC, dan Concacaf yang banyak dihuni negara-negara tidak berpengalaman di Piala Dunia akan mendapat kuota lebih banyak. Rata-rata hampir separonya. CAF misalnya yang mendapat tambahan sampai empat slot negara untuk tampil di Piala Dunia 2026. Logikanya, makin banyak negara yang lolos, makin menurun pula di sisi kualitas tiap timnya. Itul yang kemudian memunculkan kritik dari beberapa federasi. Salah satunya dari Federasi Sepak Bola Jerman DFB. Dikutip AFP, Reinhard Grindel sebagai Presiden DFB menyebut pihaknya menerima keputusan ini. Tapi, ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di pikirannya. \'\'Saya lebih mengkhawatirkan jika daya tarik laga akan berimbas,\'\' sebut Grindel. Senada dengan Grindel, pernyataan yang sama juga dari salah satu legenda Jerman, Berti Vogts. \'\'48 tim? Saya sangat, sangat terkejut, saya tidak percaya. Ini sungguh mengerikan. Kalau Anda ingin merusak sesuatu, ini memang jalan yang harus Anda ambil. Saya benar-benar tidak paham kenapa ini harus diambil,\'\' kecam pemain yang pernah memenangi Piala Dunia 1974 itu. David Conn di dalam tulisannya di The Guardian menyebut Piala Dunia dengan 48 tim tidak berpihak dengan kualitas laga. Dia mencontohkan dari pengalaman Euro 2016 lalu. Dari 16 kontestan, di Prancis lalu berubah menjadi 24 kontestan. Apa yang terjadi? Permainan bertahan jadi favoritnya. Bahkan, Portugal sebagai negara juaranya pun bukan negara attacking football. Indikatornya dari penurunan jumlah gol per laga Euro 2016 dengan Euro 2012. Dengan 16 kontestan, Euro 2012 mampu melahirkan 2,45 gol per laga. Sementara, dengan total 24 negara, Euro 2016 hanya melahirkan 2,12 gol per laga. Terlebih lagi dengan adanya aturan baru saat fase grup Piala Dunia 2026 nanti. Apabila ada laga yang berakhir imbang, maka laga berlanjut ke babak adu penalti. So, lebih aman bermain imbang di waktu normal dan memenangi adu penalti, bukan? Infantino melempar candaan terkait kekhawatiran kubu Jerman soal kualitas turnamen. Dikutip di The Independent, pria berusia 46 tahun itu menyebut tidak akan ada berdampak signifikan pada Die Mannschaft, julukan Jerman. \'\'Mereka (Jerman) kan juara dunia, tim top, yang selalu lolos, yang selalu memenangi laga. Toh apapun formatnya, Jerman akan ada di sana (Piala Dunia 2026),\'\' tutur Infantino. Sekalipun niatnya untuk membangkitkan semangat negara-negara kecil, Infantino menggaransi keputusan ini juga akan berpihak pada negara-negara besar. Salah satunya Inggris. \'\'Siapa tahu kan, jika dengan 48 tim ini Inggris bisa melaju ke final Piala Dunia 2026,\'\' selorohnya. Selain membuka peluang negara kecil, dengan tambahan kontestan ini juga berpotensi pada pundi-pundi FIFA. Situs The World Game menyebut, FIFA bisa mendulang pemasukan dari hak siar televisi. Nilai estimasinya lebih dari USD 1 miliar (Rp13,3 triliun). Begitu juga dengan 80 laga, diyakni menambah pemasukan dari sponsor. Keuntungan FIFA bakal lebih banyak dari yang mereka dapat di Brasil 2014 lalu, USD 4,8 miliar (Rp63,9 triliun). \'\'Tapi, ini semua bukan soal uang, ini murni tentang sepak bola,\'\' tegas Infantino. Infantino memang sudah menegaskan tidak ada yang berubah dari durasi penyelenggaran Piala Dunia, tetap 32 hari. Akan tetapi, banyak pihak yang mengecam keputusan ini hanya janji-janji politik Infantino semata. Serangan paling tegas datang dari Javier Tebas, Presiden LFP. Menurutnya, Infantino sudah membuat keputusan tanpa persetujuan pihaknya. Maklum, sebagai operator liga yang menaungi pemain yang bakal berlaga di Piala Dunia, Tebas merasa FIFA perlu membicarakannya dulu. Terutama terkait kick-off Piala Dunia sehingga bisa sinkron dengan berakhirnya kompetisi. Rata-rata, termasuk La Liga, berakhir pada bulan Mei. Atau, hanya satu bulan sebelum Piala Dunia berlangsung. \'\'Ini cuma politik FIFA saja. Politik Infantino supaya mendapat suara dari banyak negara di Piala Dunia. Dia lupa bahwa janjinya itu berdampak pada profesionalisme sepak bola. Dia tidak ada rasa peduli dengan itu. Sikapnya yang tanpa persetujuan kami itulah yang membuat kami sangat marah (terkait keputusan FIFA, red),\'\' tutur Tebas. Hal senada juga dikatakan Asosiasi Klub Sepak Bola Eropa ECA. Dalam pernyataan resminya, ECA menilai format 32 negara adalah yang paling ideal. ECA mempertanyakan urgensi dari tambahan kontestan ini. Apakah politik, atau memang ada pertimbangan sepak bola? \'\'Kami akan analisis dampak apa saja, konsekuensi apa saja dari format baru ini dalam pertemuan Dewan Eksekutif berikutnya akhir Januari nanti,\'\' tulis ECA dalam pernyataannya. (ren)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: