Rantai Distribusi Panjang, Penyebab Naiknya Harga Cabai

Rantai Distribusi Panjang, Penyebab Naiknya Harga Cabai

Mahalnya harga cabai rawit tidak serta merta disebabkan faktor cuaca maupun hukum supply and demand. Ada faktor lain yang jelas-jelas memberi pengaruh signifikan. Dari hulu ke hilir, alurnya terlalu panjang dan menjadi penyebab terkereknya harga cabai. HARGA cabai rawit memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Di sejumlah pasar tradisional di Kota Cirebon, sempat menyentuh Rp100 ribu. Meski kini sudah mulai menurun hingga Rp55-60 ribu, tetapi harga itu masih terlalu tinggi. Peningkatan harga yang tidak terkendali ini, ditengarai merupakan dampak dari buruknya manajemen dan distribusi produk sayuran. Sayangnya, nyaris tidak ada solusi untuk membenahi persoalan ini. Alur distribusi yang terlalu panjang ini, sudah bermula dari tingkatan pengepul kecil hingga akhirnya sampai ke tangan penjual. Dari informasi yang dihimpun Radar, petani cabai rawit di sejumlah daerah di Jawa Tengah hanya menjual seharga Rp25-30 ribu/kg. Tetapi, harga ini meningkat seiring jenjang yang dilalui di rantai distribusi. Di tingkat pengepul kecil saja, harganya sudah Rp35-40 ribu/kg. Kemudian di pengepul besar menjadi Rp45-50 ribu/kg. Pengepul besar inilah yang mengirim ke pasar induk, salah satunya Pasar Jagasatru. Di tingkatan ini, harganya sudah Rp55-60 ribu/kg. Dari Pasar Jagasatru dijual ke pengecer ataupun pedagang pasar tradisional lain, ada selisih sekitar Rp10-20 ribu. Sehingga di tingkatan pengecer atau pasar lain harga bisa Rp80-100 ribu. “Tergantung jauhnya, ongkos angkutnya kan berpengaruh,” ujar pedagang sayuran di Pasar Jagasatru, H Syafa, kepada Radar. Syafa tak menampik, alur panjang ini membuat harga sulit dikontrol. Pedagang di pasar induk juga kerap dibingungkan dengan fluktuasi harga komoditas sayuran. Pedagang kerap kali kesulitan menjual atau terpaksa banting harga. Kondisi ini juga dipengaruhi tidak adanya sentra penghasil cabai di wilayah III Cirebon, sehingga harganya pun terbebani dengan ongkos angkut. “Cabai kan banyaknya dari Jawa Tengah, tapi aslinya sih itu dari Banyuwangi. Ya dari sana ke sini, itu bisa ada empat atau lima tangan,” katanya. Mendapati posisi di pucuk rantai distribusi, Syafa mengaku, pedagang kerap dirugikan. Bahkan, keuntungan untuk satu kg cabai rawit terkadang hanya Rp5 ribu. Nilai itu tidak artinya di tengah kondisi seperti sekarang ini. Sebab, pedagang juga tidak berani menampung dengan stok yang terlampau banyak. \"Dari pengepulnya saja sudah mahal, sayuran kan cepat busuk. Kita nggak berani ambil banyak,” tuturnya. Menurutnya, mahalnya harga cabai terkadang disalahgunakan oleh para pengepul yang mematok harga jauh lebih mahal di tingkat petani. Perubahan harganya bisa 100 persen. Komponenen harga ini dipengaruhi biaya antar dan di pertengahan jalan ada pemilahan tahap kedua untuk mengeliminasi cabai yang sudah busuk. Pedagang sayuran lain, Hj Konaah juga mengakui adanya pengurangan stok. Konaah terpaksa menurunkan stoknya hingga 50 persen dari kapasitas biasanya. Bila tidak demikian, hampir pasti pedagang bakal merugi. Sebab, saat harga mahal masyarakat maupun pemilik rumah makan mengurangi pembelian. Soal mata rantai distribusi ini, pakar ekonomi, Dr Taufiq Ridwan membenarkan, permasalahannya ada pada tengkulak. Meski harga cabai mahal, belum tentu petani menikmati hasil penjualan. Buktinya, harga yang diterima petani dari tengkulak tidak lebih dari 25 persen harga pasar. Padahal, petani merupakan produsen yang mengurus lahan, perawatan hingga panen. Cost dari petani ini cukup besar. “Ini mindset-nya juga harus diubah, kalau begini terus tengkulak yang untung. Petani ya nggak untung,” tuturnya. Taufiq memandang perlu adanya analisis sosial (ansos). Analisis ini penting agar petani bisa menentukan harga acuan. Dengan adanya analisa ini, harga tidak lagi ditentukan oleh tengkulak. Penampingan ansos ini bisa dilakukan pemuda atau mahasiswa dari kampus setempat. “Ini soal analisis peluang dan membaca kebutuhan. Selama ini analisis yang melakukan tengkulak, mereka yang nentuin harga,” katanya. Selain faktor tengkulak dan alur distribusi, Taufiq juga membenarkan adanya pengaruh dari supply and demand. Tetapi, masalah supply and demand ini juga bisa teratasi seandainya petani memiliki kemerdekaan dalam penentuan harga. Dengan kemandirian petani, masalah tengkulak juga teratasi dan secara umum menuntaskan persoalan harga yang kerap melonjak-lonjak tanpa bisa terkontrol. \"Petani jangan tergiur sama oknum tengkulak. Mereka itu biasanya pakai modus ngeborong dan harganya sangat murah,” katanya. Taufiq sangat berharap, petani Indonesia bisa mencontoh negara maju. Salah satunya Jerman, karena petani di sana hidupnya sejahtera. Kemudian, regenerasi di sektor pertanian berjalan dengan baik, karena sektor pertanian ini sangat menjanjikan. Menurutnya, pemerintah perlu mengambil peranan dalam persoalan ini. Terutama sebagai regulator. Bagaimanapun, kenaikan harga komoditi termasuk sayuran bisa berpengaruh pada banyak hal. Di lain pihak, Dinas Perdagangan Koperasi dan UMKM (Disperindagkop-UMKM) justru tak memahami alur distribusi sayuran, khususnya cabai rawit. Kepala Disperindagkop-UMKM, Ir Hj Yati Rohayati mengaku tidak mengetahui alur distribusi ini. Pasalnya, cabai rawit bukan termasuk salah satu kebutuhan pokok masyarakat (Kepokmas) seperti halnya beras, minyak dan telur. Untuk itu pihaknya meminta masyarakat agar bersabar. \"Seperti bulan lalu kan cabai merah naik drastis sekarang lagi turun. Nah sekarang lagi cabai rawit yang mahal, Pak Menteri (Menteri Pedagangan, Enggar Tiasto Lukita) juga minta supaya kita tanam cabai saja di rumah,” tuturnya. Yati menilai, fenomena naiknya harga cabai rawit tidak lepas dari petani yang gagal panen. Hasil panen yang tidak sesuai harapan, menyebabkan naiknya harga. (via)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: