Sekolah Dirarang Ada Pungutan, Tapi Terima Sumbangan

Sekolah Dirarang Ada Pungutan, Tapi Terima Sumbangan

JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan pelarangan pungutan sekolah. Yang diperbolehkan adalah sekolah menerima bantuan dan sumbangan. Untuk itu, peran komite sekolah direformasi guna menampung bantuan dan sumbangan tersebut. Ketentuan itu tertuang dalam Permendikbud 75/2016. Komite sekolah bisa membantu dalam hal penggalangan dana atau fundraising dan sifatnya sukarela. Tidak ada unsur paksaan atau menjurus menjadi sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). “Ada paket untuk mengatur peran dan fungsi komite sekolah seperti yang diamanatkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Komite ini ikut membantu sekolah lewat penggalian dana dari masyarakat,” kata Mendikbud Muhadjir Effendy, setelah rapat di kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Jakarta kemarin (16/1). Penggalangan dana itu tidak boleh menjadi pungutan liar (pungli). Yang jadi prioritas adalah berbentuk corporate social responsibility (CSR) serta sumbangan dermawan dan alumni. Sekolah bisa mendata alumni yang dianggap berhasil. “Kan tidak ada wali kota yang gak sekolah SD, bupati ya SD. Kalau sudah gaji banyak, ya nyumbang dong bagi sekolahnya. Daripada buat beli rokok sebulan bisa Rp25 juta, mbok Rp1 juta kasihkan sekolah,” ungkapnya. Sekolah tidak boleh membanderol nominal sumbangan. Siswa miskin tidak boleh dipungut. “Kalau sepakat, ya beli. Kalau tidak, ya nggak usah. Kalau ada anggota komite maksa-maksa mungut, ya diveto. Nggak ada masalah,” ujar mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu. Irjen Kemendikbud Daryanto menjelaskan, pengertian pungutan, sumbangan, dan bantuan berbeda. Memang di lapangan bisa jadi ada kerancuan. Untuk itu yang mengatur adalah komite sekolah. Kemendikbud melarang komite menampung dana sumbangan dan bantuan dari perusahaan rokok, industri minuman beralkohol, serta partai politik. Komite juga dilarang menjual buku, bahan ajar, pakaian seragam, bahkan bahan untuk pakaian seragam sekolah. Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim menyatakan, mayoritas guru mendukung keberadaan komite. Yang penting adalah menjelaskan dengan benar perbedaan antara pungutan, sumbangan, dan bantuan. Sebab, masyarakat secara umum meyakini bahwa setiap keluar uang berarti ada pungutan. Ramli meminta Kemendikbud menetapkan kuota siswa miskin di setiap sekolah sesuai akreditasinya. “Jadi, di sekolah dengan akreditasi A sekalipun ada anak dari keluarga miskin,” katanya. Dengan aturan tersebut, tidak berarti potensi penyimpangan otomatis hilang. Sementara pengamat pendidikan Indra Charismiadji menuturkan, pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS) cenderung membelenggu sekolah. Bukannya menjamin pendidikan bermutu, BOS ternyata hanya cukup untuk melayani standar minimal pendidikan. Indra merindukan suasana sekolah negeri yang kegiatannya kembali semarak. Tidak melulu urusan belajar. “Apalagi nanti jika aturan jam di sekolah ditambah, siswa harus ada kegiatan,” katanya. Tanpa didukung anggaran yang kuat, kegiatan sepulang sekolah tidak ada. Penambahan waktu siswa di sekolah pun sia-sia. (wan/mia/c10/ca)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: