Jangan Anggap Remeh Kesenjangan Sosial di Kota Cirebon

Jangan Anggap Remeh Kesenjangan Sosial di Kota Cirebon

Pesatnya investasi dan pembangunan infrastruktur tak mampu diimbangi masyarakat Kota Cirebon. Pada periode 2011-2015, jumlah penduduk miskin bertambah 7 ribu jiwa. Seiring sejalan, permukiman tidak layak huni juga bertambah. MESKI belum ada data pasti yang merilis secara pasti jumlah rumah rawan ambruk, namun proposal pengajuan bantuan perbaikan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) bisa jadi acuan. Sebelum program itu terhenti pada 2016, ada 4.700 proposal yang mengantre. Antrean 4.700 proposal itu menjadi cerminan kesenjangan yang kian tinggi. Di kota yang tengah bertumbuh dan berhias dengan bangunan cantik perhotelan maupun kawasan bisnis, terselip rumah-rumah reot yang siap ambruk. Data itu juga tak bisa diabaikan begitu saja. Berdasarkan data Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos-P3A), tahun 2016 sedikitnya ada 136 rumah yang ambruk. Tapi, Dinsos-P3A juga tak bisa berbuat banyak. Bantuan yang diberikan maksimal Rp7 juta. Selebihnya, dinsos membantu logistik makanan. “Maksimal cuma Rp7 juta, karena memang alokasinya hanya segitu,” ucap Kepala Dinsos-P3A, Jamaludin S Sos. Kondisi perumahan masyarakat juga tercermin dari data kemiskinan yang kian bertambah. Jamaludin mengungkapkan, angka kemiskinan di Kota Cirebon merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) cenderung meningkat. Tahun 2011 angka kemiskinan mencapai 102.702, kemudian data tahun 2015 meningkat menjadi 109.250. Penentuan angka kemiskinan ini melalui 14 indikator, diantaranya luas rumah hanya  delapan meter, pendapatan per bulan kurang dari Rp600 ribu, lantai rumah masih tanah, makannya hanya dua kali sehari yakni pagi dan sore. “Jumlah gakin 109.250 jiwa miskin berdasarkan verifikasi tahun 2015 BPS,” tuturnya. Di lain pihak, penanganan rumah rawan roboh ini juga tak bisa berharap banyak pada pemerintah kota. Jangankan melakukan perbaikan atau langkah strategis menangani persoalan ini, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) masih limbung. DPRKP yang merupakan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) baru di lingkungan Pemerintah Kota Cirebon, bisa dikatakan belum bekerja. Sebagai OPD baru yang membidangi perumahan, permukiman dan kawasan kumuh, DPRKP masih melakukan pendataan kondisi lapangan. Termasuk menata program yang akan dilakukan. Hal ini disampaikan Kepala DPRKP Kota Cirebon Ir Eddy Krisnowanto MM didampingi Sekretaris DPRKP R Henda SH MH. “DPRKP seperti halnya OPD lain, belum mengetahui secara pasti tupoksi yang harus dilakukan,” ujar Eddy, di ruang kerjanya. Namun, berdasarkan draft Peraturan Walikota (Perwali) yang dimiliki, setidaknya ada tiga pekerjaan besar untuk kegiatan utama. Yaitu penataan kawasan permukiman, kumuh dan perumahan. “Kami belum mengetahui tupoksi secara pasti. Tetapi gambaran program kerja sudah dibuat,” ucapnya. Sebagai informasi, DPRKP termasuk salah satu OPD yang belum memiliki kantor permanen. Saat ini masih menumpang di salah satu gang Jalan Wahidin yang sebelumnya menjadi Kantor Pertahanan Pangan. Kepala Bidang Perumahan Abing Rijadi ST mengaku sedang melakukan pendataan perumahan. Tetapi, pendataan ini tidak spesifik pada penanganan rumah tidak layak huni ataupun rawan ambruk. Tujuannya, mencari dan menentukan fasos fasum agar dikelola Pemkot Cirebon dan menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bersama Bidang Aset Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Cirebon, pihaknya melakukan pendataan dan pengambilalihan status menjadi pengelolaan Pemkot Cirebon. “Langkah sekarang sudah mendata fasos fasum di setiap perumahan. Baik perumahan yang lama maupun baru,” ucapnya. Pasalnya, perumahan wajib menyerahkan fasos fasum maksimal satu tahun setelah selesai dibangun. Abing dan timnya sedang melacak keberadaan fasos fasum di seluruh perumahan Kota Cirebon. Lebih dari itu, pihaknya akan melakukan konsultasi ke pemerintah pusat untuk langkah ambil alih terkait perumahan yang tidak diketahui developer-nya. Soal pendataan rumah penduduk, Abing belum mampu menentukan klasifikasi rumah secara penuh. Termasuk jumlah rumah mewah, menengah maupun di bawahnya. Untuk program kawasan kumuh dan Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), DPRKP memiliki bidang tersendiri yang menangani. Kepala Seksi Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Bidang Kawasan Permukiman DPRKP, Haniyah ST MT mengungkapkan, pihaknya sedang menyiapkan pemetaan ulang terkait rutilahu. Sampai saat ini, anggaran untuk program rutilahu tersebut belum ada. Karena itu, Haniyah tidak dapat berbuat banyak melakukan langkah progresif kedepan terkait bantuan pengembangan rutilahu menjadi layak huni. “Sementara kami fokus pada penanganan kawasan kumuh. Karena ada bantuan dari provinsi,” ucapnya. Haniyah menerangkan, tahun 2016 ada bantuan dari Dinas Pemukiman dan Perumahan Provinsi Jawa Barat yang dikerjasamakan dengan Satuan Kerja Kotaku. Meskipun tahun ini mendapatkan bantuan penanganan kawasan kumuh, tetapi seluruh pekerjaan dari awal sampai akhir dilakukan provinsi. DPRKP Kota Cirebon hanya menerima produk sudah jadi. Wilayah Kota Cirebon masih ada kawasan kumuh yang memenuhi tujuh kriteria berdasarkan UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Yaitu, bangunan gedung, jalan lingkungan, penyediaan air minum, drainase lingkungan, pengelolaan air limbah, pengelolaan persampahan dan proteksi kebakaran. Saat ini, lanjutnya, Kota Cirebon sedang menyusun Raperda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh. Aturan ini menjadi dasar dan langkah yang diambil dalam pengentasan kawasan kumuh. Setidaknya, lanjut Haniyah, 100 persen akses air bersih, 0 (nol) persen kawasan kaumuh dan 100 persen akses sanitasi, dapat terpenuhi. Di samping itu, raperda tersebut menjadi syarat dari pemerintah pusat saat memberikan bantuan pengentasan kawasan kumuh. (ysf/abd)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: