Ditangkap KPK, Ini Jejak Kontroversi Patrialis Akbar

Ditangkap KPK, Ini Jejak Kontroversi Patrialis Akbar

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar operasi tangkap tangan (OTT) kasus suap. Kali ini, lembaga antirasuah itu menangkap hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Sumber di internal KPK mengungkapkan, ada operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (25/1). KPK menangkap tiga orang termasuk hakim MK yang juga mantan menteri, yakni Patrialis Akbar. KPK menangkap  Patrialis Akbar terkait dengan dugaan penyuapan soal uji materi undang-undang. Informasi yang dihimpun, Patrialis diduga menerima sejumlah uang terkait dengan uji materi suatu undang-undang. Namun belum terang benar uji materi undang-undang apa yang \'diperdagangkan\' Patrialis. Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan tentang operasi tangkap tangan (OTT) itu. Agus menyebut ada beberapa pihak yang juga ditangkap selain Patrialis. \"Ada sejumlah pihak yang diamankan saat ini. Terkait dengan lembaga penegak hukum,\" ujar Agus saat dimintai konfirmasi, Kamis (26/1). Terkait dengan OTT itu, Ketua MK Arief Hidayat mendukung upaya OTT yang dilakukan KPK. Namun Arief menyebut OTT itu terkait dengan pribadi dan bukan institusi. \"Itu persoalan pribadi, bukan lembaga. Saya persilakan dan mendukung KPK melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap kasus ini, termasuk di MK,\" ujar Arief sebelumnya. Hingga saat ini, KPK belum merilis secara resmi soal OTT itu. Namun, dalam waktu dekat, KPK akan mengungkapnya. Pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi dari unsur pemerintah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Agustus 2013 lalu sempat memantik kontroversi. Waktu itu, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi meminta Presiden SBY membatalkan pencalonan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi. Pencalonan Patrialis dinilai cacat hukum tidak transparan dan partisipatif. Pencalonan Patrialis juga dinilai melanggar pasal 19 Undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. \"Waktu itu kami persoalkan karena proses seleksi yang tidak transparan dan akuntabel. Dari pemerintah tidak ada pengumuman rekrutmen calon hakim konstitusi, tiba-tiba ada penunjukan (Patrialis),\" kata peneliti Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho ketika diminta konfirmasi lagi, Kamis (26/1). Latar belakang Patrialias yang bekas politikus Partai Amanat Nasional juga dipersoalkan. Dengan masuknya Patrialis, maka komposisi hakim MK berubah menjadi tidak seimbang, yakni: 4 orang berlatar belakang partai politik, 3 orang berlatar belakang hakim pengadilan, dan 2 orang berlatar belakang akademisi/birokrasi. Komposisi yang tidak ideal tersebut dikhawatirkan akan mengganggu independensi MK karena dominasi kepentingan politik. Koalisi Masyarakat Sipil waktu itu juga menyinggung status Patrialis yang belum lama dicopot oleh Presiden SBY dari posisi Menteri Hukum dan HAM. Pencopotan tersebut dinilai karena Patrialis mendapatkan \'rapor merah\' saat memimpin Kementerian Hukum dan HAM. Salah satu rapor merah itu adalah terungkapnya skandal sel mewah milik Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu di Jakarta Timur. Sehingga menjadi pertanyaan ketika pejabat yang mendapat rapor merah kemudian diusulkan sebagai hakim konstitusi. Kala itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang merupakan gabungan sejumlah organisasi kemasyarakatan tersebut memberikan dua rekomendasi. Pertama pembatalan penunjukan Patrialis Akbar sebagai calon hakim konstitusi dari unsur pemerintah. Dan kedua, koalisi meminta pembentukan Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi dan menjalankan proses seleksi secara transparan, partisipatif dan akuntabel. Pada Selasa, 13 Agustus 2013, Patrialis tetap dilantik menjadi Hakim Konstitusi. Kurang lebih tiga tahun menjabat Hakim Konstitusi, Patrialis tersandung kasus hukum. Rabu malam dia terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. (net)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: