Imbas Isu Flu Burung, Harga Ayam Anjlok
CIREBON - Kasus flu burung yang terjadi di Wilayah Timur Cirebon, membuat harga ayam di peternak menurun drastis. Harga ayam pedaging di peternak yang biasanya Rp 15-16 ribu/ekor, anjlok menjadi Rp 10 ribu/ekor. Saefudin, salah seorang peternak ayam di Desa Gemulung Lebak menyebutkan, ada kerugian peternak akibat mencuatnya isu flu burung. Harga ayam yang biasanya Rp 15 ribu/ekor dari kandang, turun menjadi Rp 10 ribu/ekor. Hal ini membuat banyak peternak ayam merugi. \"Sudah dari bulan Januari turun. Tahun lalu saja Lebaran biasanya ayam dijual Rp 20 ribu/ekor, ini hanya Rp 15 ribu sampai Rp 16 ribu/ekor. Sehingga, banyak peternak yang gulung tikar,\" ujarnya kepada Radar Cirebon, Senin (20/3). Menurutnya, ada indikasi penyebaran isu flu burung ini dimainkan para broker. Sebab alur distribusi penjualan ayam sangat panjang. Dari peternak, ke broker, lalu ke bakul, dijual ke pasar baru ke konsumen. \"Ya di pasar walaupun harga di peternak murah, harga ayam tetap saja segitu. Seharusnya pemerintah kalau mau sidak jangan ke pasar terus, sekali-kali ke peternak,\" sebutnya. Hal yang sama juga dialami peternak lainnya. Yopi, peternak ayam lainnya mengatakan, harga jual ayam saat ini tengah menurun. Hanya saja, dirinya masih bisa bertahan karena menggunakan sistem kontrak dengan perusahaan tertentu. Harga kontrak ini lebih stabil. Sesuai harga kontrak harga ayam dibeli Rp 14 ribu/kilo. \"Kalau di sini kontrak, harganya Rp 14 ribu. Yang kasihan ya mereka yang penjual ke pasar, naik turun terus harganya. Sekarang lagi turun,\" ucapnya. Dengan kondisi saat ini, terlebih kena cuaca pancaroba, banyak ayam yang mati. Enam bulan terakhir para peternak rugi semua. Karena banyak ayam yang mati. \"Satu periode itu satu bulan biasanya ya paling 100 ekor yang mati, itu bisa sampai 400 ekor,\" jelasnya. Dia mengatakan, kematian itu bukan dari penyakit flu burung, karena faktor cuaca semata. Di lain sisi, di Kabupaten Cirebon sendiri, terdapat sekitar 3,8 juta populasi hewan unggas. Akan tetapi yang tervaksin flu burung melalui program pemerintah cuma 75 ribu unggas. Artinya, sekitar tiga persen saja yang sudah tervaksin dari target populasi. \"Yang harus divaksin dari pemerintah itu unggas di sektor tiga dan empat,\" sebut Encus. Dari tiga juta sekian populasi unggas itu, seperempat unggas dipelihara di dekat rumah seperti itik dan bebek. Sementara di sektor tiga itu seperti peternakan ayam bolier dengan skala kepemilikan kecil. Untuk sektor dua, pemberian vaksin sudah tanggung jawab perusahaan, tidak dicover pemerintah. \"Kita hanya tiga persen saja, yang mampu tercover vaksin,\" sebutnya. Sehingga, banyak sekali peluang kasus endemis flu burung akan muncul. Hal ini karena memang kemampuan pemerintah sebatas itu. Apalagi, kalau vaksin mandiri oleh peternak itu, harga vaksin cukup mahal, dan harus disuntik. \"Kalau vaksin untuk penyakit tetelo kan bisa diaplikasikan dengan air minum, jadi sendiri juga bisa. Sementara vaksin flu burung ini harus disuntik, jadi tidak bisa sendiri,\" ujarnya. Anggaran pemberian vaksin sudah dialokasi dari APBD akan tetapi tidak banyak. Pun demikian dari provinsi. \"Biaya vaksin itu gratis, tinggal mengajukan ke desa atau perorangan juga akan dilayani. Kan sekarang itu kita juga karena keterbatasan jumlah vaksin hanya di daerah sentral unggas saja. Dan itu ada dalam juknis kita,\" ucapnya. Di lain sisi, untuk penanganan lebih jauh agar tidak tersebar, pihaknya saat ini melakukan karantina terhadap unggas yang positif flu burung tersebut. \"Secara protap, memang kalau ada yang positif harus dimusnahkan atau depopulasi,\" ujarnya. Namun karena pemusnahan, harus ada kompensasi. Sementara dari pemerintah anggaran tidak ada, maka pihaknya saat ini melakukan pendekatan dengan pemilik peternakan. \"Langkah apa yang harus ditempuh, karena ini juga kan mata pencaharian. Nanti kita akan cari jalan keluarnya. Kalau memang depopulasi jalan keluar seperti apa?\" bebernya. Hanya saja, ada alternatif lain, itik yang terindikasi flu burung tidak boleh keluar dari lokasi. Kemudian, bisa dilakukan vaksinasi secara gamblang. Nantinya hewan yang lemah akan mati dengan adanya vaksin. Namun, itu beresiko buat petugasnya. Sehingga perlu ada pembicaraan lebih jauh, jalan keluar yang terbaik seperti apa. Peternakan yang terindikasi flu burung di Pangenan itu jaraknya relatif jauh dari pemukiman. Sejauh ini, untuk unggas yang dipelihara masyarakat kebanyakan peternakan back yard. Pada intinya, masyarakat boleh memelihara unggas, asalkan tidak boleh berkeliaran, harus terus berada di kandang, tidak boleh keluar, dan juga kasih pakan yang benar. Serta mengikuti program vaksinasi juga harus jalan, sehingga imun hewan terjaga. Virus H5 N1 sendiri menular dari unggas ke manusia. Penularannya melalui cairan air mulut, bisa dari kotoran unggas, kemudian dari hewan yang kelihatan sakit. Apalagi, jika ada hewan mati mendadak ini patut dicurigai. Maka dari itu, peternak harus segera lapor untuk pemeriksaan lebih jauh. (jml)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: