Skandal E-KTP, Ambil Uang Rp6,5 M Naik Ojek

Skandal E-KTP, Ambil Uang Rp6,5 M Naik Ojek

JAKARTA- Bantahan kelompok legislatif atas dugaan keterlibatan di skandal mega korupsi kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) dilawan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di persidangan, kemarin (3/4). KPK menghadirkan mantan bendahara umum Partai Demokrat M. Nazaruddin sebagai saksi yang menguatkan indikasi bagi-bagi uang haram E-KTP di kalangan dewan. \"grafis\"Langkah itu dilakukan setelah mantan anggota Komisi II yang kini duduk di Komisi V DPR Miryam S Haryani yang diharapkan mengungkap dugaan penyaluran duit panas E-KTP ke sejumlah anggota DPR periode 2009-2014 secara mendadak mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) di persidangan sebelumnya. Hal itu membuat jaksa penuntut umum (JPU) KPK merasa dirugikan. Nazaruddin yang sebelumnya pernah mengungkap indikasi korupsi berjamaah dalam proyek E-KTP itu langsung membeberkan praktik bagi-bagi uang di DPR dalam sidang kemarin. Kesaksiannya menguatkan bila kelompok dewan turut menikmati aliran dana, seperti disebut dalam surat dakwaan mantan Direktorat Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan anak buahnya Sugiharto. Bukan hanya menyebut nama dan besaran uang yang didistribusikan, pria yang mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC) dalam kasus E-KTP itu juga menjelaskan secara detail pola penyaluran fee tersebut pada rentang waktu 2010-2011. Aliran uang ke pimpinan badan anggaran (banggar) dan anggota komisi II, misalnya. Menurut Nazar, besaran uang sudah ditentukan melalui pembicaraan antara pihak terkait sebelum pembahasan anggaran di DPR. Uang yang disepakati disalurkan berdasar catatan Andi Agustinus alias Andi Narogong yang dibantu Mustoko Weni, anggota komisi II saat itu. “Waktu itu harus ada dana yang dikeluarkan Andi Narogong untuk teman-teman di DPR sebelum pembahasan anggaran (proyek e-KTP, red),” ungkapnya. Catatan tersebut yang menjadi acuan penyaluran uang ke anggota dewan. Duit haram tersebut dikemas dalam amplop. Mayoritas dalam bentuk pecahan Dollar Amerika Serikat (AS). Setiap ujung amplop diberi tulisan nama penerima. Proses pengamplopan dilakukan di Ruko Fatmawati, Jakarta Selatan, markas Andi Narogong cs. Nazar mengaku melihat sendiri proses itu. “Tulisan (nama penerima uang) dikasih ke saya,” terangnya. Nazar juga mengaku melihat sendiri beberapa proses penyerahan uang ke anggota DPR. Di antaranya ke wakil ketua banggar Mirwan Amir, Olly Dondokambey dan Tamsil Lindrung. Uang diberikan secara bertahap dengan total bervariasi. Yakni USD 1,2 juta dan USD 700 ribu. Selain diserahkan langsung ke ruang pimpinan banggar, penyerahan juga dilakukan di ruang Mustoko Weni. Selain melihat sendiri, Nazar juga mengetahui penyerahan tersebut dari laporan Andi Narogong yang disampaikan ke Anas. Menurutnya, selain Mustoko Weni, penyerahan uang juga banyak dilakukan Andi Narogong. Setelah diserahkan, Andi melapor ke Anas, selaku pentolan partai penguasa saat itu. “Sebelum terima dibicarakan dulu, angkanya segini. Nanti Andi lapor ke Anas, kalau ada masalah juga akan lapor,” ucap mantan anggota komisi III DPR itu. Nazar meyakini hampir semua uang yang dikemas dalam amplop sudah disalurkan ke kluster dewan. Khususnya pimpinan banggar dan anggota komisi II. Baik itu ketua dan wakil ketua komisi, anggota banggar komisi, ketua kelompok fraksi (kapoksi) hingga anggota biasa. Menurutnya, untuk penyerahan diluar pimpinan komisi dan banggar, uang diberikan melalui koordinator fraksi.  “Kalau tidak terima (uang), tidak ada penetapan pemenang (tender proyek E-KTP),” imbuhnya. Selain membeber pendistribusian uang haram, Nazar juga mengungkap fakta baru terkait bagi-bagi fee tersebut. Terutama soal penerimaan uang Ganjar Pranowo, mantan pimpinan komisi II yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah. Menurut dia, Ganjar memang sempat menolak uang E-KTP. “Waktu dikasih USD 150 ribu dia (Ganjar) menolak. Ribut di media. Dia minta dikasih sama dengan ketua (komisi),” terangnya. Setelah penolakan itu, Ganjar akhirnya mendapat jatah USD 500 ribu, sama dengan ketua komisi. Nazar menyebut uang untuk Ganjar diserahkan saat pertemuan di ruang Mustoko Weni. “Kebetulan saya ada di ruangan itu (Mustoko Weni). Waktu pas menyerahkan itu jatahnya Fraksi Demokrat juga ada di situ (ruang Mustoko Weni),” papar politisi yang terseret kasus korupsi proyek Hambalang itu. Pernyataan Nazar tersebut secara langsung membalik kesaksian Ganjar di persidangan sebelumnya yang menyatakan bila tidak menerima uang panas E-KTP. Selain mengungkap fakta tentang Ganjar, Nazar juga bersaksi bila mantan anggota komisi II Khatibul Umam Wiranu pernah menerima aliran uang yang digunakan untuk biaya pencalonan ketua umum pimpinan pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Anshor. Besarnya USD 400 ribu. Uang tersebut diberikan Nazar melalui stafnya saat Khatibul di Surabaya. ”Saya telepon Khatibul malam itu juga sudah diterima,” bebernya. Selain Nazar, indikasi bagi-bagi fee dari kelompok swasta ke pihak terkait juga diungkapkan Yosep Sumartono, pensiunan PNS Kemendagri. Yosep mengaku beberapa kali disuruh terdakwa Sugiharto untuk mengambil uang dari para rekanan proyek E-KTP. Uang itu diambil dari sejumlah lokasi. Antara lain, Mall Juction Cibubur sebesar USD 500 ribu, Holland Bakery Kampung Melayu Jakarta Timur sebesar USD 400 ribu, SPBU Pangkalraya Mampang Jakarta Selatan dan SPBU Pancoran Jakarta Selatan sebanyak USD 400 ribu. Semua uang itu berasal dari Andi Narogong yang diberikan melalui adiknya Vidi Gunawan. Selain itu, Yosep juga mengaku mendapat titipan uang dari Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos sebesar USD 300 ribu dan dari penyedia produk automated finger print identification (AFIS) Johannes Marliem sebanyak USD 200 ribu. Dia juga mengaku pernah dititipi uang USD 200 ribu oleh Anang S. Sugiana, perwakilan PT Quadra Solution. Yosep mengaku tidak pernah menaruh curiga saat diminta mengambil uang dari para kluster swasta itu. Bahkan, dia sempat membawa uang USD 500 ribu (Rp6,5 miliar) pemberian Vidi Gunawan dari Cibubur ke Kalibata dengan naik ojek. Uang miliaran itu dibawa dengan menggunakan koper. ”Tahu berbentuk uang, tapi tidak melihat,” ucapnya saat ditanya ketua majelis hakim John Halasan Butar-Butar. Selain menghadirkan dua saksi kunci pendistribusian uang tersebut, ada tujuh saksi lain yang dihadirkan jaksa KPK. Yakni, mantan ketua banggar Melcias Marchus Mekeng, mantan ketua Fraksi Partai Demokrat M. Jafar Hapsah, serta mantan anggota komisi II Khatibul Umam Wiranu. Jafar mengaku menerima uang sebesar Rp1 miliar dari dari Nazar. Jafar berdalih tidak mengetahui bila uang itu merupakan hasil bagi-bagi fee E-KTP. Alasannya, saat itu Nazar merupakan bendahara fraksi yang salah satu tugasnya adalah mencukupi kebutuhan operasional ketua fraksi. Jafar menyebut uang itu sudah diserahkan ke penyidik KPK saat pemeriksaan di penyidikan. “Sudah saya kembalikan,” ujarnya. Meski sudah mengembalikan, jaksa tetap mencecar Jafar soal pengembalian uang itu. Sebab, pengembalian uang tidak menghapus pidana. Pun, Jafar berpotensi menjadi tersangka sebagai akibat hukum pengembalian uang itu. “Saya benar tidak tahu (kalau uang yang diterima berkaitan dengan E-KTP). Makanya saya kembalikan setelah tahu dari penyidik,\" imbuhnya. Sementara Khatibul terus mengelak saat dicecar jaksa terkait aliran uang panas E-KTP. Termasuk dana dari Nazar yang diduga digunakan untuk biaya pencalonan diri sebagai ketua PP GP Anshor 2011 lalu. Khatibul mengaku siap dikonfrontasi dengan Nazaruddin dan stafnya yang memberikan uang sebesar USD 400 ribu itu. “Saya siap (dikonfrontir, red),” kelitnya saat ditanya jaksa KPK Abdul Basir. Sedangkan Mekeng mengaku tidak tahu menahu soal pembahasan anggaran E-KTP yang dibahas di komisi II. Dia mengaku hanya tahu gelondongan saja soal proyek tersebut. Politisi Partai Golkar itu juga tidak mengaku pernah menerima uang maupun barang soal penganggaran itu. Setali dengan Khatibul, Mekeng siap dikonfrontasi. “Tidak pernah sama sekali,” ujarnya. Menurut Nazar, Mekeng disebut menerima uang USD 1,4 juta dalam proyek E-KTP. Selain itu, ada Vidi Gunawan (adik Andi Narogong), mantan staf Nazaruddin Eva Ompita Soraya, Dian Hasanah dan Munawar yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kemarin. Sementara Gubernur Sulawesi Utara yang juga mantan wakil ketua banggar Olly Dondokambey tidak hadir dalam sidang. (tyo/JPG)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: