Ganjil dalam Kasus Ahok, Desak Copot Jaksa Agung

Ganjil dalam Kasus Ahok, Desak Copot Jaksa Agung

JAKARTA- Keganjilan penuntutan kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membuat masyarakat mempertanyakan kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung). Karena itu Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah bakal melaporkan jaksa penuntut umum (JPU) ke Komisi Kejaksaan (Komjak) hari ini (26/4). Presiden Jokowi juga didesak mencopot Jaksa Agung HM Prasetyo karena kinerjanya yang underperforms. Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum Faisal menuturkan, dalam undang-undang 16/2004 tentang kejaksaan dalam pasal 37 disebutkan bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan, berdasarkan hukum dan hati nurani. “Namun, dalam penuntutan sidang Ahok dengan jelas terlihat JPU yang tidak independen, tidak berdasarkan hukum dan hati nurani,” tuturnya. Independensi JPU dipertanyakan itu karena tuntutan terhadap Ahok begitu ringan. Bahkan, JPU keliru dalam membuat dakwaan dan tuntutan, karena dalam dakwaan itu pasal yang digunakan 156 dan 156 a KUHP. Tapi, pada tuntutan JPU justru memilih hanya menuntut dengan pasal 156. “Padahal, seharusnya penggunaan pasal ini yang menentukan hakim,” terangnya. Sesuai dengan pasal 14 KUHP, hakimlah yang memiliki kewenangan untuk menentukan pidana percobaan. Bukan, JPU yang menentukan penggunaan pidana percobaan. “Jadi, JPU ini sudah seakan-akan mengambil kewenangan hakim,” tegasnya. Menurutnya, saat ini masalahnya bukan pada Ahok, namun pada JPU yang menunjukkan keganjilan. Karenanya, sebagai penanggungjawab Jaksa Agung H M. Prasetyo harus bertanggungjawab dan menjelaskan keputusan JPU tersebut. “Kami akan desak Komjak untuk membuat rekomendasi agar Presiden dan DPR memanggil Jaksa Agung,” tuturnya. Sementara Ketua Umum PB KAMMI Nurokhman bahwa sejak awal JPU kasus Ahok sangat tidak profesional. Dimulai dari pembacaan tuntutan pada kasus dugaan penistaan yang dipaksakan untuk ditunda oleh JPU dengan alasan tuntutan belum selesai diketik. ”Alasan yang sangat dibuat-buat,” terangnya. Ditambah dengan ringannya tuntutan yang menunjukkan ketidakadilan. Ahok dituntut satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Tuntutan itu sangat ringan bila dibandingkan dengan kasus penistaan agama yang lain. Seperti Arswendo yang divonis 5 tahun, Lia Eden 2 tahun  6 bulan dan Haji Ali Murtadho yang divonis dua tahun penjara. “Kami akan beraksi secara masif di semua daerah, penggalangan tanda tangan dilakukan dengan tuntutan mencopot Jaksa Agung,” paparnya. Peneliti Indonesian Legal Roundtable (IRL) Erwin Natosmal Oemar menuturkan, dalam kasus Ahok tersebut JPU menunjukkan keraguannya pada tuntutan tersebut. Bila, ragu seharusnya sejak awal kasus tersebut tidak dibawa ke proses hukum. “JPU sangat underperforms dalam kasus ini,” tuturnya. Sebenarnya keganjilan dalam penanganan kasus yang dilakukan Kejagung juga terjadi pada sejumlah kasus korupsi. Salah satunya, kasus suap dana bansos mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan kasus suap PT Brantas. ”Dalam kasus suap dana bansos nama JA disebut, walau akhirnya hanya Rio Capella yang terjerat,” ungkapnya. Untuk kasus suap PT Brantas dua petinggi Kejagung, yakni mantan Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Aspidsus Tomo Sitepu juga disebut berulang kali. “Tapi kasus ini malah tidak berlanjut,” terangnya. Semua permasalahan itu menunjukkan bahwa Prasetyo tidak mampu dalam memperbaiki kinerja Kejagung. Bila berkiblat pada negara maju, posisi Jaksa Agung itu ditempati oleh seorang sarjana hukum terbaik negara tersebut. “Tapi, ini malah dijabat orang politik. Jalan satu-satunya ya dicopot Jaksa Agungnya, ganti yang lebih mampu,” ungkapnya. Sementara saat dikonfirmasi melalui telepon, Kapuspenkum Kejagung M. Rum tidak mengangkat teleponnya. Pesan singkat juga tidak dibalas. (idr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: