Endus Peran Jaksa Agung di Kasus Ahok

Endus Peran Jaksa Agung di Kasus Ahok

  JAKARTA- Kejanggalan penuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sidang dugaan penistaan agama disinyalir tidak terlepas dari peran Jaksa Agung HM Prasetyo. Pemuda Muhammadiyah yang melaporkan sejumlah kejanggalan JPU ke Komisi Kejaksaan (Komjak) kemarin, mengendus bahwa Jaksa Agung menginstruksikan penundaan pembacaan tuntutan, sekaligus sebab di balik tuntutan ringan JPU. Direktur Satgas Advokasi PP Pemuda Muhammadiyah Ghufroni menuturkan, laporan terhadap JPU sidang dugaan penistaan agama pada Komjak dikarenakan ada sejumlah kejanggalan. Di antaranya, JPU menyebut terdakwa tidak terbukti secara sengaja menista agama, penghilangan pasal 156 a dalam tuntutan dan penundaan penuntutan. “Jadi, JPU ini melemahkan sendiri tuntutannya,” paparnya. Padahal, dalam persidangan itu sudah ada lima video lain yang mendukung video pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu. Dengan lima video lain itu, seharusnya unsur kesengajaan itu terpenuhi. “Namun, JPU malah merasa tidak terpenuhi,” terangnya. Lalu, dalam tuntutan itu juga dihilangkan pasal 156 a. Padahal, dalam surat dakwaan ada dua pasal yang digunakan, pasal 156 dan 156 a. ”Penghilangan pasal ini sangat aneh, sebab dalam proses sidang yang sejak awal ingin dibuktikan adalah pasal 156 a ini,” ujarnya. Dia menuturkan, belum lagi dengan penundaan pembacaan tuntutan dengan asalan yang sangat tidak masuk akal, karena belum selesai mengetik. “Bahkan, Jaksa Agung juga sempat menyebut sepakat dengan penundaan pembacaan tuntutan. Setelah mendapatkan anjuran dari Polda Metro Jaya,” jelasnya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Kejagung bisa diintervensi dalam melakukan penuntutan alias tidak independen. Sementara Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman mengungkapkan, JPU itu merupakan pengacara negara yang seharusnya menguatkan tuntutan. Namun, dengan tuntutan hanya setahun penjara dengan percobaan dua tahun, JPU mengingkari pembuktian yang dilakukan selama ini. “JPU itu memiliki puluhan saksi dan banyak barang bukti, mereka malah mengingkarinya sendiri,” jelasnya. Sementara Komisioner Komjak Indro Sugianto menuturkan, saat ini fokus dari Komjak untuk mengkaji laporan tersebut. Selama proses pengkajian tersebut maja akan dilakukan klarifikasi, permintaan keterangan pada berbagai pihak. Termasuk JPU dan pelapor. “Ini dalam rangka membuat terang dugaan yang disampaikan tadi,” terangnya. Karena itu, Komjak mengimbau pelapor dan masyarakat yang menemukan informasi sekecil bisa disusulkan. “Semua dalam proses,” terangnya. Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperingatkan para penegak hukum khususnya kejaksaan agar tidak mempermainkan hukum. Mereka menemukan indikasi kuat permainan hukum itu dalam menuntut terdakwa kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Din Syamsuddin mengungkapkan tuntutan jaksa terhadap Ahok berupa setahun penjara dan dua tahun masa percobaan itu dianggap tidak adil. Padahal sudah ada yurisprudensi kasus penistaan agama sebelumnya dengan tuntutan yang jauh lebih berat. “Tuntutan jaksa penuntut umum itu mengusik rasa keadilan. Secara kasat mata pula ini terkesan dilindungi. Ini semacam dibela-bela,” ujar Din usai pembacaan Tausiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI di kantor pusat MUI Jalan Proklamasi Jakarta, kemarin (26/4). Dia menuturkan, bila Ahok bebas itu akan berdampak pada semakin mudahnya orang mengeluarkan ujaran kebencian. Kondisi itu sangat berbahaya pada persatuan dan kesatuan bangsa. Bahkan, tidak mungkin orang akan kembali bergerak langsung untuk menuntut keadilan. Toleransi itu diwujudkan dengan tidak memasuki dan mengusik keyakinan orang lain. Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon dakwaan jaksa itu sangat menguntungkan Ahok. Bila tiba-tiba nanti Ahok dibebaskan itu malah akan membuat jadi semakin marah karena rasa keadilan tidak ada lagi. Dia tak menampik kemungkinan peran Jaksa Agung M Prasetyo yang berlatar belakang dari partai politik yang punya kepentingan politik. Dia sudah sejak lama meminta kepada presiden untuk mengganti jaksa yang punya latar belakang bukan dari partai politik agar lebih indepen. ”Karena rawan sekali penyelewengan dan penyalahgunaan. Tapi kan presiden tetap mempertahankan. Mungkin punya kepentingan-kepentingan lain,” ujar dia. (idr/jun)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: