Bagaimana Memopulerkan Orang Mampu (3)
MEREALISASIKAN ide Presiden SBY ”agar yang mampu menjadi populer dan kemudian terpilih” memang tidak mudah. Juga tidak murah. Tidak bisa cepat pula. Meski kalau ide itu bisa dilaksanakan secara sukses bisa menutupi salah satu sudut kelemahan sistem demokrasi kita, nyatanya ada hambatan dalam perjalanannya. Apalagi, jalan yang ditempuh adalah jalan sempit. Jalan partai. Partai Demokrat. Dengan gaya berjalan yang berliku pula. Ketika Presiden SBY menemukan ide brilian untuk mengatasi problem ”yang mampu belum tentu terpilih dan yang terpilih belum tentu mampu”, memang tidak diungkapkan cara apa yang akan ditempuh untuk membuat yang dianggap mampu itu bisa menjadi populer. Setidaknya saya belum pernah mendengarnya. Mungkin sebenarnya SBY sudah menemukan jalan itu, hanya saja sengaja tidak diumumkan. Mungkin juga SBY belum menemukannya. Mungkin juga ada pemikiran terserah saja siapa yang akan melaksanakan ide tersebut. Yang penting, SBY sudah menemukan ide untuk mengatasi kelemahan sistem demokrasi tersebut. Satu kelemahan yang bisa merugikan bangsa yang demokrasinya masih muda ini. Bahwa nama-nama 10 besar yang oleh hasil riset dianggap mampu memimpin Indonesia itu tidak pernah diumumkan, sangat bisa dimaklumi. Namun, masyarakat menjadi tidak tahu bahwa sebenarnya ada banyak pilihan untuk masa depan Indonesia. SBY sendiri akhirnya terlihat punya cara. Yakni dengan menyelenggarakan konvensi di partainya, Partai Demokrat. Di sini, ide awal yang brilian tersebut menemukan jalan yang menyempit. Dari ide yang berskala nasional menjadi program yang berskala partai. Jalan partai itu ternyata juga terjal. Tentu hak SBY sepenuhnya untuk memilih jalan itu. Ide brilian tersebut adalah idenya sendiri. Riset untuk menemukan tokoh yang dianggap mampu itu juga atas inisiatifnya sendiri. Dan, atas biayanya sendiri. Maka, hak SBY juga untuk mewujudkannya dengan jalan yang dia pilih. Keterjalan berikutnya muncul: Beberapa orang yang masuk 10 besar tersebut ternyata menghindar. Di antara mereka, ada yang tidak mau memenuhi undangan Partai Demokrat untuk ikut konvensi. Salah satunya adalah Prof Dr Mahfud MD. Saya tidak tahu apa alasan resmi Prof Mahfud yang disampaikan kepada Pak SBY. Tapi, kepada saya, Pak Mahfud mengirim SMS. Juga melakukan pembicaraan lewat telepon. SMS itu sangat mengesankan untuk saya. Karena itu, sempat saya simpan selama dua tahun. Sebelum akhirnya hilang bersamaan dengan rusaknya handphone saya. Yang jelas, Pak Mahfud tidak pernah secara resmi beralasan karena nama Partai Demokrat lagi hancur saat itu. Akibat skandal korupsi yang sangat dramatis itu. Pak Mahfud kelihatannya mempunyai jalan sendiri. Seraya membesarkan hati saya dan memberikan dukungan kepada saya. Publik tahu jalan apa yang saat itu sedang ditapak Pak Mahfud. Hanya, belakangan, akhirnya, ternyata publik tahu bahwa Pak Mahfud juga menemukan jalan yang penuh dengan labirin. Masih ada beberapa nama lagi yang menolak undangan untuk ikut konvensi calon presiden dari Partai Demokrat itu. Saya tidak perlu menyebutkannya di sini karena saya tidak tahu persis alasan mereka. Penolakan dari beberapa nama besar itulah yang membuat perjalanan ide yang awalnya brilian tersebut kian jauh dari ideal. Beberapa nama yang sebenarnya tidak tercantum dalam 10 besar hasil riset dimasukkan sebagai peserta konvensi. Publik tidak diberi tahu apa kriteria yang dipakai untuk menentukan keikutsertaan si A atau si B dalam konvensi itu. Tentu masih banyak faktor lain yang membuat perjalanan ide brilian tersebut tidak berhasil membuat yang mampu bisa terpilih. Bahkan jauh dari itu. Faktor-faktor tersebut bisa ditulis menjadi satu buku tersendiri. Dan, saya sudah selesai menulis buku tentang semua itu meski belum tentu akan saya terbitkan. Toh, publik akhirnya tahu bagaimana ending perjalanan ide brilian tersebut. Akhir perjalanan ide itu ibarat sebuah kehamilan yang aneh: melahirkan tidak, keguguran juga tidak. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: