Ketum IAR Indonesia: Kukang Sulit Jadi Hewan Peliharaan
KUNINGAN - Ketua Umum IAR Indonesia Tantyo Bangun mengatakan, dengan maraknya penggunaan media sosial saat ini terjadi juga penyesatan informasi bahwa memelihara kukang adalah sesuatu yang “keren”, padahal sebenarnya satwa liar sangat sulit dijadikan hewan peliharaan. “Pameran soal keberhasilan pemeliharaan di media sosial adalah “topeng” yang menutupi kenyataan bahwa tiap satu satwa yang dipamerkan ada dua yang mati saat mulai diburu, diperdagangkan hingga salah rawat. Para pedagang dan pemelihara yang memamerkan satwa di media sosial tujuannya bukanlah untuk kesejahteraan satwa, tetapi semata-mata hanya komersil mengejar keuntungan,” ujarnya. Menurut Tantyo, penyadartahuan mengenai larangan memburu, membeli, menjual dan memelihara satwa liar dilindungi harus ditingkatkan juga dibarengi dengan penegakan hukum. Sebab, faktanya saat ini para pehobi juga cukup banyak menjadi pedagang dimana tujuan memamerkan keunikan satwa tersebut berujung pada transaksi. “Dengan demikian tidak ada pilihan lain untuk penegak hukum selain menindak tegas para pelakunya,” kata Tantyo. Kukang terancam punah karena kerusakan habitat, perburuan dan perdagangan untuk pemeliharaan. Perdagangan untuk pemeliharaan memegang peran besar dalam mendorong kepunahan kukang. “ 30 persen kukang hasil perburuan mati dalam perjalanan saat menuju perdagangan,” ungkapnya. Dikatakan Tantyo, kukang mati karena stress, dehidrasi atau terluka akibat transportasi yang buruk. Sesampainya di pedagang, lanjutnya, kukang kembali mengalami penderitaan yaitu pemotongan gigi taring. Pemotongan gigi tersebut kerap menyebabkan infeksi mulut yang berujung pada kematian karena kukang kesulitan makan. “Rata – rata kukang hanya akan berumur enam bulan saja saat diperdagangan atau dipelihara,” tandasnya. Dijelaskannya, pelepasliaran kukang jawa di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan salah satu strategi untuk menjaga dan meningkatkan populasi jenis primata sebagai satwa endemik yang kini jumlahnya semakin berkurang di alam. TNGC merupakan kawasan konservasi yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis. Dengan luas sekitar 15.500 ha. TNGC berfungsi sebagai kawasan pelestarian dan perlindungan kelangsungan hidup satwa tertentu agar tidak punah. Menurut hasil survei tim IAR Indonesia dan tim TNGC menunjukkan bahwa kawasan TNGC memiliki keanekaragaman dan ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur kukang, serta memiliki kondisi ekologis yang sesuai dengan daya dukung habitat kukang jawa. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Padmo Wiyoso mengatakan, setelah Gunung Ciremai definitif menjadi taman nasional maka menjadi perlu untuk mengembalikan ekosistem ini mendekati kondisi asli dengan berbagai upaya pemulihan ekosistem. Termasuk, mengembalikan keanekaragaman hayati satwa liar di dalamnya melalui pembinaan populasi untuk meningkatkan neraca ekologis kawasan. \"Salah satunya adalah deposit species tertentu untuk mengisi kekosongan keanekaragaman hayati di ekosistem TNGC misalnya dengan pelepaliaran kukang jawa sebagai satwa endemic yang terancam punah,” ujar Padmo. (fik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: