Jokowi Minta TNI Ikut Dilibatkan Berantas Terorisme
BOGOR–Pelibatan TNI secara teknis dalam pemberantasan terorisme di Indonesia sangat mungkin terealisasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus meminta agar TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme. Informasinya, meski sudah masuk dalam RUU Terorisme, namun masih terjadi perdebatan mengenai keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme. Hal itu disampaikan Presiden di Istana Bogor, Jawa Barat. ’’Berikan kewenangan TNI untuk masuk di dalam RUU ini. Tentu saja, dengan alasan-alasan yang saya kira Menko Polhukam sudah mempersiapkan untuk ini,’’ ujarnya. Sementara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diminta fokus pada pencegahan. Sasaran utamanya ada pada sekolah, tempat ibadah, lembaga pemasyarakatan, dan media sosial (medsos). Bila keempat medium itu bisa dikuasai, diyakini aksi terorisme akan menurun secara signifikan karena semakin sepi peminat. Sementara itu, Menko Polhukam Wiranto enggan menyebutkan secara spesifik bagaimana peran yang akan diberikan kepada TNI. Dia hanya menyebut, semua negara saat ini sedang bekerja sama memberantas aksi terorisme. ’’Karena kita terlibat dalam kerja sama internasional, maka kita juga harus total,’’ ujarnya. Totalitas tersebut artinya tidak sebatas melibatkan kepolisian semata. Ada peran masyarakat yang perlu dimaksimalkan, juga peran TNI. ’’Kalau TNI tidak dilibatkan, nanti ada teror dekat markas TNI, karena ada hambatan Undang-Undang, lalu TNI diam saja. Tidak bisa begitu,’’ lanjutnya. Yang jelas, saat ini pemerintah mendesak DPR untuk segera merampungkan UU Antiterorisme yang sudah dibahas sejak setahn belakangan. ’’Masa kita harus menunggu aksi-aksi bom lain? Aksi teror tidak menunggu pengesahan Undang-Undang,’’ tambahnya. Terpisah, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menegaskan bahwa penanganan aksi terorisme tidak cukup hanya mengandalkan penegakan hukum semata. ’’Perlu ada kegiatan preventif, juga pasca penindakan seperti rehabilitasi dan deradikalisasi,’’ terangnya. Proses tersebut memerlukan banyak unsur, di mana TNI menjadi salah satunya. ’’TNI punya banyak potensi, mulai intelijen, teritorial hingga penindakan. Ini kenapa tidak dimanfaatkan bersama-sama,’’ lanjut alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) 1987 itu. Dalam hal pencegahan misalnya, kekuatan intelijen TNI bisa diandalkan. Begitu pula untuk mengawasi mantan narapidana, eks kombatan maupun mereka yang kembali dari kawasan konflik. Tito mencontohkan Operasi Tinombala di Poso sebagai bentuk riil kerja sama TNI-Polri dalam menangani terorisme. Untuk medan tertentu seperti pegunungan dan hutan, TNI dinilai lebih mumpuni. Begitu pula di kawasan perairan dan udara, di mana Polri tidak memiliki aset. Seluruh kemampuan yang dimiliki TNI bisa dimaksimalkan untuk menangani terorisme. Apalagi, terorisme sudah menjadi jaringan internasional. Hanya saja, tambahnya, tetap saja prinsip penanganan terorisme ada pada penegakan hukum. ’’Karena ini negara demokrasi, yang mengutamakan supremasi hukum dan human rights, maka sebaiknya tetap due process of law,’’ tambahnya. Sementara itu, DPR RI memutuskan setuju keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-Undang Terorisme sepakat akan memasukannya dalam Undang-Undang No 15/2003 tentang Terorisme. Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyebut keterlibatan TNI dalam menangani terorisme memang diperlukan. \"Kondisi yang darurat teroris ini membutuhkan kerja semua pihak, Polri, BNPT, TNI, dan BIN. Jadi saya setuju keterlibatan TNI diperlukan pada tahap-tahap tertentu,\" ungkapnya kepada wartawan. Dengan disetujuinya kewenangan TNI masuk di dalam draf, ujar anggota Panja revisi UU Terorisme itu, saat ini tugas Panja tinggal mengatur kewenangan tiap institusi dengan jelas agar tidak tumpang tindih. Politisi Partai Golkar itu mengimbau dalam pembahasan RUU Terorisme ini jangan sampai ada tarik menarik kewenangan. \"Tinggal nanti Panja mencari titik yang tepat sejauh mana keterlibatan TNI dan BIN dalam hal ini. Prinsip utamanya, bagi saya Panja ini jangan dijadikan tarik menarik kewenangan, ego sektoral harus dilepaskan demi kepentingan Nasional,\" ujar Muetya. Ia berpesan, meskipun RUU Terorisme ini terus dibahas, jangan sampai melupakan prinsip kehati-hatian. Diharapkan RUU Terorisme ini cepat selesai supaya bisa memberikan landasan hukum bagi aparat keamanan. \"RUU ini harus segera diselesaikan agar aparat memiliki pegangan kuat dalam pemberantasan terorisme,\" imbuh Meutya seraya menambahkan, di sisi lain, Polisi, TNI, dan BIN harus terus meningkatkan kerja sama untuk mengantisipasi serangan teroris. Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly berharap revisi UU Terorisme bisa diselesaikan dengan segera. Sebab, sudah dibahas DPR selama setahun. \"Saya berharap teman di DPR segera menyelesaikan bersama pemerintah rencana RUU Terorisme. Ini rencana revisi undang-undang terorisme sudah lama sekali, belum dapat kita selesaikan,\" kata Yassona di RS Premier Jatinegara, Jakarta Timur, (28/5). Maka dari itu, Yasonna meminta DPR untuk bisa menyelesaikan revisi UU Terorisme agar tidak ada korban ledakan bom yang dilakukan teroris. Apalagi, polisi perlu payung hukum untuk menindak tegas pelaku dan jaringan teroris. \"Sebelum jatuh korban lagi, supaya kepolisian bisa mengambil langkah antisipatif. Karena ada payung hukum undang-undang, maka mau tidak mau kita harus percepat. Karena itu, saya dorong teman di DPR bersama untuk mempercepat rencana RUU Terorisme,\" ucap dia. Anggota Panja UU Terorisme, Arsul Sani berjanji akan mengintensifkan rapat-rapat guna merampungkan UU Terorisme. \"Sehari sebelum peristiwa bom Kampung Melayu, Panja RUU Terorisme memang telah menyepakati untuk mengintensifkan pembahasan DIM-DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang belum dibahas di masa-masa sidang sebelumnya. Insya Allah mulai minggu depan kita rapat-rapat lagi,\" ujarnya. Arsul mengaku tim kecil Panja RUU Terorisme telah membahas sekitar separuh DIM yang ada. Beberapa isu pun telah disetujui fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah. \"Sampai dengan akhir masa sidang lalu, Panja yang merupakan tim kecil Panja RUU terorisme telah membahas sekitar separuh DIM yang ada. Total DIM di RUU ini ada 112, tapi sebagian bukan merupakan DIM yang substansial dan alot untuk dibahas. Bahkan banyak juga yang tidak ada perbedaan sikap di antara fraksi-fraksi dan pemerintah, sehingga bisa langsung disetujui,\" ucap anggota Komisi III itu. Terhadap DIM-DIM yang sudah dibahas, lanjutnya, pasal-pasal yang menyangkut pidana materiil terkait dengan perbuatan persiapan yang mengarah pada aktivitas atau aksi terorisme, pemerintah-DPR juga telah mencapai kata sepakat. Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki perihal rumusan norma hukumnya. Dia membeberkan, RUU Antiterorisme sendiri sempat mandek karena beberapa isu yang menjadi kontroversi seperti soal definisi terorisme, peran TNI dalam penanggulangan teroris, serta \'Pasal Guantanamo\'. Untuk definisi terorisme, DPR telah meminta tim pemerintah untuk merumuskannya. \"Soal definisi, kami yang di Panja memang sepakat meminta tim pemerintah untuk merumuskannya. Sedang soal pasal \'Guantanamo\' serta peran serta TNI, belum dibahas sampai dengan akhir masa sidang lalu karena masih fokus dengan soal perpanjangan waktu penangkapan dan penahanan,\" urainya. Dia menambahkan, DPR sendiri punya strategi agar target dari Jokowi tercapai. Apa strategi mereka? \"Ya strateginya mengintensifkan rapat pembahasan,\" kata Sekjen PPP itu. (aen)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: