Kunjungan Balasan, Raja Brunei Meninggal
TIONGKOK - Dalam muhibahnya ke kepulauan Nusantara, Laksamana Cheng Ho juga menjalin persahabatan dengan Kerajaan Brunei. Salah seorang rajanya, Raja Karna atau Abdul Majid Hassan, dimakamkan di Nanjing. Dia sakit dan meninggal di sana saat melakukan kunjungan balasan pada 1408. Makam Raja Karna berada di Bukit Shizigang (bukit kerikil). Letaknya di barat daya Kota Nanjing. Tempat itu sekarang dibangun menjadi Taman Persahabatan Tiongkok-Brunei. Dua hari lalu (5/6) kami mengunjungi tempat tersebut. Udaranya sejuk. Suhu 19 derajat Celsius. Hujan yang mengguyur sejak beberapa jam sebelumnya membuat udara lebih dingin. Dari catatan yang ada, raja Brunei meninggal di Nanjing pada 19 Oktober 1408. “Sampai sekarang, famili Kerajaan Brunei dan orang Brunei sering datang berkunjung,” kata Feng Mei Ying, petugas pengantar tamu di taman tersebut. Taman itu memang belum secantik destinasi wisata sejarah lainnya di Nanjing. Pepohonan rimbun, tapi terkesan tumbuh liar. Kurang tertata. Begitu pula danaunya. Masih belum diapa-apakan. Tapi, Feng kemudian menunjuk ke sebuah maket taman yang indah. “Taman ini belum jadi. Nanti tiga tahun ke depan bentuknya seperti itu,” katanya. Taman itu mempunyai sebuah hall yang menyimpan banyak gambar dan dokumen terkait persahabatan Tiongkok-Brunei. Persahabatan tersebut terjalin sejak ratusan tahun lalu. Mungkin sama tuanya dengan usia persahabatan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Majapahit dan Sriwijaya. Sajian utama taman tersebut tentu saja makam raja Brunei. Lingkungannya cukup luas. Dari utara ke selatan panjangnya kira-kira 100 meter. Di muka makam terdapat sebuah jalan yang lebar. Di kedua tepinya berderet dari utara ke selatan lima pasang patung batu. Yakni, patung hulu balang, harimau, kambing, menteri, dan kuda. Jarak antarpatung kira-kira 3 meter. Kemudian, berjalan ke tenggara kira-kira 70 meter, ada sebuah nisan berbentuk kura-kura. Di Tiongkok, kura-kura merupakan simbol panjang umur atau keabadian. Ada juga prasasti, tetapi beberapa hurufnya sudah hilang atau rusak. Yang masih bisa diidentifikasi sekitar 200–300 kata. Isinya sebagai berikut: “...Raja Boni...jauh terpisah puluhan ribu li (2 li = 1 km, red) dari Tiongkok... Baginda merasa gembira karena disambut dengan segala kehormatan dan kebesaran dan dijamu dengan aneka santapan yang lezat dan diberi cenderamata yang bernilai. Namun, tak disangka, baginda jatuh sakit setelah bertamu lebih dari sebulan...’’ Boni sendiri adalah pelafalan lidah orang Tiongkok untuk menyebut Brunei. Menurut Feng, meski taman itu disebut taman persahabatan Tiongkok-Brunei, soal pendanaan dan operasional, semuanya berasal dari pemerintah Tiongkok. “Termasuk rencana revitalisasi taman itu menjadi sebuah taman hutan di tengah kota,” terangnya. Hanya, Feng mengaku tidak begitu paham detail rencana pembangunannya sampai berapa anggaran yang disiapkan. “Saya harus bertanya dulu ke manajemen untuk soal itu. Soalnya, tugas saya adalah memandu tamu-tamu yang datang ke sini. Bukan terkait pengembangannya,” terangnya. Menurut Feng, meski taman tersebut belum jadi dan penataannya masih sekadarnya, kunjungan masyarakat cukup tinggi. Rata-rata ada 500 orang tiap bulan. “Kebanyakan orang umum. Ada juga peneliti sejarah yang datang. Tapi, hanya beberapa,” paparnya. “Masyarakat kami selalu suka datang ke tempat sejarah. Anda lihat sendiri kan, selalu ramai tempat-tempat wisata sejarah,” sambungnya. Ahli sejarah Nanjing yang juga keturunan Cheng Ho, Zheng Zhi Hai, menyatakan bahwa saat berkunjung ke ibu kota kekaisaran Dinasti Ming tersebut, usia Raja Karna dari Brunei baru 28 tahun. Dia meninggal setelah 40 hari berada di Nanjing. Zheng meyakini, Raja Karna berangkat ke Nanjing dengan kawalan armada Cheng Ho. “Sebab, saat itu hanya Tiongkok yang mempunyai postur angkatan laut yang cukup besar,” katanya. Apalagi, Raja Karna ini membawa rombongan besar yang berisi 150 orang. “Hampir pasti yang membawa mereka adalah armada yang dipunyai Cheng Ho,” tambahnya. Dalam ekspedisinya, Cheng Ho memang sering mengajak raja atau utusan kerajaan yang dikunjungi untuk dibawa ke Tiongkok guna dipertemukan dengan Kaisar Zhu Di. Entah dengan maksud sebagai pengakuan kekuasaan untuk kerajaan yang lebih besar atau sekadar lambang persahabatan. (*/c6/nw)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: