PSDKP Perangi Destructive Fishing
JAKARTA- Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, berupaya terus untuk menjaga laut dari ancaman destructive fishing. Langkah tersebut untuk mengendalikan praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang terus terjadi di negeri ini. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal PSDKP Eko Djalmo Asmadi di kantornya, di Jakarta. ”Kegiatan menangkap ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan atau kita kenal dengan destructive fishing dilakukan oleh oknum masyarakat umumnya menggunakan bahan peledak (bom ikan), dan penggunaan bahan beracun untuk menangkap ikan. Hal ini yang terus kita perangi,” ujar Eko Djalmo. Lebih lanjut dia mengatakan penggunaan bom tersebut mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem di sekitarnya, serta menyebabkan kematian berbagai jenis dan ukuran yang ada di perairan tersebut. Setidaknya, hasil penelitian World Bank pada 1996 menunjukkan bahwa penggunaan bom seberat 250 gram akan menyebabkan luasan terumbu karang yang hancur mencapai 5,30 meter persegi. Dalam hal pengawasan kegiatan destructive fishing, Direktorat Jenderal PSDKP melalui para Pengawas Perikanan yang tersebar di seluruh Indonesia serta instansi terkait lainnya telah berhasil menggagalkan kegiatan pengggunaan bom ikan. Keberhasilan terbaru dilakukan oleh Pangkalan PSDKP Tual yang menggagalkan penangkapan ikan menggunakan bom di perairan Tual, Provinsi Maluku pada bulan Maret 2017. Dia juga menjelaskan kejadian yang belum lama ini di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat bersama TNI Angkatan Laut juga berhasil menggagalkan penangkapan ikan menggunakan bom di perairan Lombok Timur. Sementara pada tanggal 30 Mei 2017, Polair Polda Sulawesi Selatan juga menangkap pelaku penangkapan ikan menggunakan bom di perairan Barang Lompo, Sulawesi Selatan. ”Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia,” jabarnya. Dia mengatakan jika diketahui dan didapatkan cukup bukti terdapat oknum masyarakat yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar. Dengan luasnya wilayah laut Indonesia, memang terdapat keterbatasan Pemerintah untuk mengawasi kegiatan destructive fishing. Mulai dari keterbatasan personil pengawasan, kapal pengawas, dan jangkauan wilayah yang sangat luas. Untuk itu, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk bersama-sama memerangi pelaku destructive fishing. ”Peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan mengamati atau memantau kegiatan perikanan dan pemanfaatan lingkungan yang ada di daerahnya, kemudian melaporkan adanya dugaan kegiatan destructive fishing kepada Pengawas Perikanan atau aparat penegak hukum,” pungkas Eko. (nel)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: