Pendampingan Pekerja Anak di Shelter Berkurang

Pendampingan Pekerja Anak di Shelter Berkurang

JAKARTA- Pemerintah terus berupaya menarik pekerja anak dari dunia usaha. Pekerja usia di bawah 18 tahun tersebut berhak mendapatkan pendidikan, baik di lembaga pendidikan formal, non-formal atau Balai Latihan Kerja (BLK). Sebelum pekerja anak mendapat hak pendidikan, mereka harus mendapat pendampingan di shelter kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan Amri menuturkan, pekerja anak akan ditampung di shelter selama 24 hari. Dalam waktu yang singkat itu, anak akan diberikan motivasi dan pelatihan. Selama itu pula, menurutnya anak mendapat pendampingan dari instruktur. ”Pekerja anak selama di shelter tidak kami batasi dengan keluarga mereka. Kebutuhan anak-anak juga kami cukupi, dari permakanan hingga pakaian,” ujar Amri. Dia menegaskan, perubahan APBN pada APBN-P 2016 lalu menyebabkan berkurangnya masa pendampingan pekerja anak di shelter Kemenaker. Saat ini, masa untuk penarikan pekerja anak di shelter Kemnaker hanya 14 hari. Waktu tersebut, menurutnya sangat kurang efektif. Kendati demikian, pihaknya secara optimal mengekplor instruktur untuk memberikan pendampingan, pelatihan dan motivasi kepada anak. Dia menyebutkan, jumlah anggaran untuk penarikan pekerja anak ke shelte kini hanya tinggal Rp28 miliar. ”Kami optimalkan anggaran yang ada, dibantu oleh Coorporate Social Responsibility (CSR). Untuk anggaran itu kita gunakan untuk menarik 6000 pekerja anak,” jelasnya. Hal yang sama diungkapkan oleh (Plt) Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan  dan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Maruli Hasoloan. Dia menegaskan, pihaknya akan mewujudkan Indonesia bebas pekerja anak hingga tahun 2022. Untuk mewujudkannya, pemerintah telah melaksanakan lima program percepatan akselerasi capaian peta jalan (roadmap) menuju Indonesia bebas pekerja anak. Dia menyebutkan, lima program tersebut diantaranya pencanangan bulan Juni sebagai bulan kampanye menentang pekerja anak, pencanangan kota bebas pekerja anak di Kutai Kertanegara, Kaltim dan Gianyar, Bali, mendorong kawasan industri untuk bebas pekerja anak, meningkatkan komitmen Pemda dalam pelaksanaan penghapusan pekerja anak secara mandiri dan program aksi langsung penarikan pekerja anak baik yang dilakukan pemerintah, pengusaha maupun organisasi masyarakat. ”Dari tahun 2008 kami sudah berhasil menarik 88 ribu pekerja anak, tahun ini 17 ribu pekerja anak. Keberhasian program penghapusan pekerja anak ini melibatkan kementerian/ lembaga dan stekaholder lainnya,” ujarnya. Maruli tak memungkiri fakta lapangan menunjukkan masih adanya anak terjebak dalam dunia kerja yang cenderung mendorong terjadinya eksploitasi fisik maupun psikis. Faktor ekonomi masih dianggap menjadi faktor dominan dan berkontribusi positif terjadinya pekerja anak-anak. ”Rata-rata pekerja anak berasal dari rumah tangga sangat miskin (RTSM), yang memiliki keterbatasan, aksesbilitas, hampir ke semua bidang kehidupan,” katanya. Dia menambahkan, komitmen pemerintah Indonesia untuk menangani pekerja anak dinyatakan dengan meratifikasi konvensi ILO No.138 Tahun 1973 mengenai batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan UU No.20 tahun 1999, konvensi ILO No.182 Tahun 1999 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan UU No.1 Tahun 2000, dan telah diadopsi ke dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. ”Kami akan serius terapkan sanksi administrasi hingga pidana kepada perusahaan yang mempekerjakan anak,” tegasnya. (nas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: