Makam Pangeran Suriadinaya Dikembalikan ke Posisi Awal
CIREBON- Prosesi pemindahan makam Pangeran Suradinaya menjadi bagian dari perjalanan sejarah situs cagar budaya tersebut. Pemindahan dari TPU Kemlaten menuju lokasi awal di RW 03 Pagongan Barat Kelurahan Pekalangan Kecamatan Pekalipan, dihadiri ratusan warga, kemarin. Anggota Komisi III DPRD Kota Cirebon Jafarudin memimpin pembongkaran kembali makam Pangeran Suradinaya di TPU Kemlaten. Bersama warga dan unsur TNI-Polri serta berbagai pihak lainnya, pembongkaran mulai dilakukan sekitar pukul 10.00 tanpa kehadiran pemilik lahan maupun pengacaranya. Pembongkaran tiga makam situs cagar budaya itu selesai sebelum waktu duhur. “Sisa tulang belulang yang ada kita pindahkan kembali ke lokasi awal di RW 03 Pagongan Barat,” ucap Jafarudin. Di tempat terpisah, tepatnya di Jl Sukalila Selatan, dipenuhi warga dan berbagai elemen masyarakat yang hadir ingin menyaksikan langsung prosesi pemindahan makam Pangeran Suradinaya. Ratusan warga berkerumun sambil melantunkan salawat. Polisi berjaga dengan pengawalan cukup ketat. Kedatangan jenazah Pangeran Suradinaya di lokasi RW 03 Pagongan Barat bertepatan dengan azan duhur. “Tidak ada rencana memindahkan jam berapa. Pas datang di lokasi, kebetulan azan duhur berkumandang. Ini tanda yang baik,” ujar Jafarudin. Juru Kunci makam Pangeran Suradinaya, Jana Partanaim (78) menjelaskan, sejak tahun 1959 sudah menjadi juru kunci situs cagar budaya tersebut. Hal ini dilakukan turun temurun sejak kakek dan seatasnya. Jana Partanaim menerangkan, makam Pangeran Suradinaya selalu ramai setiap jumat. Posisinya sebagai Panglima Sunan Gunung Jati mendapatkan tempat terhormat. Karena itu, lahan yang dimiliki Pangeran Suradinaya sampai ke area Pagongan. Adapun rumahnya, berada di sekitar makam saat ini. Terkait pembongkaran makam Pangeran Suradinaya, Jana Partanaim sangat terkejut. Meskipun sudah pernah menyampaikan akan dibongkar, saat itu dia tidak memberikan izin. “Saya tidak izinkan. Kalau ada apa-apa saya tidak tanggungjawab,” ucap Jana menirukan kalimat yang disampaikan kepada pemilik tanah saat akan membongkar makam. Jangankan untuk membongkar, melanggar kepercayaan saja warga tidak berani. Seperti tidak boleh memakai gelang kaki kerincing dan menghadirkan kesenian wayang kulit. Sejak dulu, selalu ada saja pihak-pihak yang ingin membongkar makam. Pernah makam akan dikeruk, tetapi beko tidak bisa melakukannya. Justru, beko itu secara aneh terseret masuk ke sungai sukalila yang berada di seberang jalan. Berdasarkan cerita orang tuanya, Jana Partanaim merupakan keturunan Pangeran Suradinaya. Warga setempat, Andrias (52 tahun) menceritakan, waktu dia kecil sering bermain di lokasi makam Pangeran Suradinaya. Peziarah datang dari berbagai daerah di Indonesia.Kepala UPT Pelayanan Informasi Budaya dan Pariwisata (PIBP) DKOP, Sugiyono mengatakan, berdasarkan data situs, awalnya komplek makam ini terdiri dari tiga makam dengan perbedaan yang mencolok. Makam pertama adalah makam Ki Gede Suradinaya yang panjangnya kira-kira 2,5 meter. Kedua yang letaknya di tengah makam adalah makam Ki Bawok pengikut Ki Gede Suradinaya yang panjangnya 1,5 meter dan terakhir makam pengikuti Ki Gede Suradinaya yang tidak diketahui namanya panjangnya 0,5 meter. “Memang sudah banyak mengalami perubahan,\" ujarnya. Namun, kata dia, masih terdapat bagian beberapa bagian yang asli dari jaman masa lalu. Bagian-bagian itu adalah batu-batu nisan dan bata-bata yang terdapat pada lapisan bawah. Bata asli tersebut tampak luasnya kira-kira 2 kali luas bata yang ada di lapisan-lapisan atas permukaan tanah yang merupakan bata masa kini. \"Karena berada di tengah-tengah pekarangan penduduk, maka semua sisi lahan berbatasan dengan pekarangan milik penduduk,\" katanya. Dijelaskannya, pada malam jumat, makam ini sering dikunjungi warga sekitar untuk melakukan tahlilan. Biasanya jamaah berasal dari Masjid Babussalam yang terletak tidak jauh dari makam. Jumlahnya sekitar 7-10 orang, namun demikian jumlah itu bisa mencapai 100 orang pada malam jumat kliwon. Karena jumlah yang banyak itu, ritual dilakukan hingga ke serambi depan rumah atau bahkan trotoar jalan. Pada malam Jumat kliwon, pengunjung juga datang dari Kampung Suradinaya di mana dulu Ki Gede Suradinaya bersawah sekaligus menyebarkan slam. Tak hanya itu, terkadang ada pula pengunjung yang bukan muslim, biasanya penganut Buddha dan etnis Tionghoa. (ysf/mik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: