Ajarkan Teknologi Menangkap Ikan dan Bertani

Ajarkan Teknologi Menangkap Ikan dan Bertani

SEBAGAI kawasan yang dulu berperan penting dalam pelayaran Cheng Ho, Malaka layak berterima kasih pada sebuah museum kecil di kawasan Jonker, Malaka City. Meski kalah luas dibanding Taman Nasional Cheng Ho di Tiongkok, gambaran gamblang bagaimana kekuatan armada Cheng Ho bisa dilihat di museum dua lantai yang total bangunannya seluas 5.500 meter persegi tersebut. Tan Ta Sen, pemilik museum sekaligus presiden Komunitas Cheng Ho Internasional, menyambut kami dengan ramah di depan museum. Wajahnya berseri-seri dan untuk pria 83 tahun dia cukup energik. Masih kuat naik tangga ke lantai 2 tanpa bantuan apa pun. ”Konsep museum ini saya rancang bersama Zheng Zhi Hai (keturunan ke-19 Cheng Ho yang juga sejarawan Nanjing, red),” kata pria yang mengambil program pascasarjana di Universitas Indonesia tersebut. Begitu masuk museum, pengunjung disuguhi patung dada Cheng Ho serta replika meriam kapalnya. Juga ada galeri buku-buku karya Tan Ta Sen dalam berbagai bahasa. Utamanya Melayu, Inggris, dan Mandarin. Suasana museum baru terasa ketika masuk ruang galeri pertama. Temanya penggambaran Cheng Ho di Tiongkok. Mulai gambar Kaisar Zhu Di memberikan perintah, lalu ruang multimedia yang mempertontonkan video singkat mengenai siapa Cheng Ho dan bagaimana ekspedisinya serta sejumlah benda seperti tandu laksamana. Ruangan berikutnya menceritakan bagaimana Cheng Ho memengaruhi kehidupan di Malaka. “Dia mengajarkan teknologi menangkap ikan yang jauh lebih baik kepada para nelayan Malaka. Kemudian, dia juga mengajarkan cara bercocok tanam yang baik,” terang Tan Ta Sen. Di ruangan itu ditunjukkan alat menangkap ikan dan membajak sawah hasil alih teknologi dari Tiongkok. Koleksi yang paling penting ada di lantai 2. Terdapat ratusan guci porselen orisinal dari armada Cheng Ho yang dikumpulkan Tan Ta Sen selama sebelas tahun. “Guci bagi armada Cheng Ho sangat penting. Sebab, guci adalah tempat mereka menaruh apa pun. Seperti kantong plastik pada zaman sekarang,” terangnya. Pertunjukan utama Museum Kultural Cheng Ho di Malaka City adalah rekonstruksi armada Cheng Ho. Dalam jumlah yang sebenarnya dan dalam komposisi yang sebenarnya. Maka, ada pemandangan ratusan kapal kayu dengan dimensi antara 0,5 hingga 1 meter (skalanya disamakan dengan ukuran asli) yang memenuhi lautan. Meski berukuran kecil, visualisasi tersebut membuat “wow”. Banyak orang paham bahwa armada Cheng Ho sangat besar dengan membawa hampir 300 kapal dan 27 ribu ABK. Namun, jarang yang bisa memvisualisasikan armada sebegitu besar. Karena itu, postur armada Cheng Ho yang ditunjukkan di museum tersebut tetap saja mengundang decak kagum. “Untuk tetap menjadi satu, komunikasi ada tiga macam. Pertama melalui peluit, kedua melalui genderang, dan ketiga dengan burung merpati,” jelas Tan Ta Sen. Itu beralasan. Sebab, perahu di paling ujung akan sulit mendengar genderang komando dari perahu induk. Selain itu, museum tersebut menggambarkan pergerakan antarkapal. Sehingga komunikasi antarkapal tetap berjalan lancar tanpa mengubah formasi. ”Mengatur satu armada besar tanpa bantuan alat-alat canggih seperti telepon satelit tentu saja bukan pekerjaan mudah. Harus ada sistem komunikasi manual yang sudah dilatih sejak di daratan,” tambahnya. (*/c9/nw)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: