Pakar Hukum Pidana: Alat Bukti Kasus HT Lemah

Pakar Hukum Pidana: Alat Bukti Kasus HT Lemah

JAKARTA- Penetapan bos MNC Media Group Hary Tanoesoedibjo (HT) sebagai tersangka kasus pengancaman atas laporan jaksa Yulianto dinilai hanya rekayasa. Sebab, keterangan tertulis, yakni pesan elektronik (SMS), yang menjadi alat bukti dalam kasus tersebut sangat lemah. “Ancaman dengan kata-kata itu sangat sulit dibuktikan,” kata pakar hukum pidana KUHP-KUHAP Syaiful Bakhri saat ditemui usai acara silaturahmi di kompleks Gandaria City, Jakarta Selatan, kemarin (27/6). Menurutnya, ancaman yang benar-benar bisa membuat seseorang, dalam hal ini jaksa Yulianto, terancam tersebut harus konkrit. “Misal, ancaman mau dipukul dengan alat,” ungkapnya. Sebagaimana diwartakan, HT disangka melakukan ancaman melalui media elektronik kepada jaksa Yulianto. Pesan itu disampaikan HT pada rentang waktu 5,7, dan 9 Januari 2016 lalu. HT dikenakan pasal 29 jo 45B Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut Bakhri, penyidik kepolisian mestinya meminta pendapat ke ahli bahasa untuk menentukan apakah pesan singkat HT itu menimbulkan ancaman kekerasan atau bukan. Ahli bahasa nanti bertugas mengkonstatir atau membuktikan benar tidaknya bukti tertulis itu merupakan sebuah ancaman atau permulaan perbuatan untuk mengancam. Pendapat ahli bahasa juga nantinya bisa digunakan untuk menentukan adanya sifat lain, seperti apakah kalimat yang dijadikan alat bukti itu termasuk kenyataan yang mengancam atau yang diancam merasa terganggu dan ketakutan. Selain ahli bahasa, kepolisian harusnya juga menggali pendapat ahli hukum pidana. “Nanti baru ditentukan oleh ahli pidana supaya tidak ada keraguan,” terangnya. Bakhri menyatakan, penetapan tersangka yang terkesan terburu-buru itu menjadi preseden kurang baik bagi penegakan hukum tanah air. Aparat juga akan rentan dilawan dengan praperadilan. “Kalau ternyata di praperadilan ini (tersangka) menang kan malu sekali penegak hukum,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta tersebut. Dia menambahkan, penegak hukum mestinya menjadikan alat bukti yang kuat sebagai primadona penegakan hukum pidana. Bukan bukti ilusionir atau khayalan yang mudah dipatahkan. “Bagaimana mungkin yang bersangkutan (HT) tidak pernah diperiksa atau diperiksa tapi dengan alat bukti ilusioner, dengan mudah ditetapkan sebagai tersangka. Itu melanggar prinsip HAM,” ujarnya. (tyo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: