Tulus Tidak Minta Maaf
KEPADA yang pernah tersinggung membaca Happy Wednesday, mohon maaf lahir batin ya. Serius, ini tulus, walau sulit membuktikan berapa persen permintaan maaf yang benar-benar tulus… *** Saya punya teman yang paling sering mengomentari tulisan saya. Kadang dia bilang ”Buagusssss”, kadang dia bilang ”Terlalu berat Mas”, kadang juga dia bilang ”Wah bakal banyak yang tersindir”. Pada dasarnya, dia bilang kolom Happy Wednesday ini punya penggemar khusus. ”Kalau tidak suka kolom Mas, itu bisa pertanda kalau dia munafik.” Begitu komentarnya. Itu kata dia lho ya. Bukan kata saya. Mumpung ini masih momen Lebaran, bagi yang tidak suka dengan kolom ini, ya saya menyampaikan from the bottom of my heart: Mohon maaf lahir dan batin. Itu setulus-tulusnya. Bicara soal tulus, kira-kira berapa persen ya yang Lebaran ini minta maafnya benar-benar tulus? Lalu, berapa persen lagi yang minta maafnya benar-benar tulus, tapi bersifat sementara. Karena setelah momennya lewat, dia akan kembali seperti sebelumnya. Tetap tidak menyukai, tetap akan menyakiti, bahkan berbuat lebih kejam lagi. Dan kalaupun disurvei, kira-kira berapa persen yang akan menjawab dengan jujur kalau mereka minta maafnya tulus? Tampaknya, itu sesuatu yang tidak akan pernah kita dapatkan jawabannya… Sebenarnya, salah satu cara mendeteksi permintaan maaf itu tulus atau tidak adalah dengan melihat bagaimana pesan itu disampaikan. Silakan baca ulang saja pesan-pesan yang masuk ke hape Anda. Terus terang, kadang saya berusaha menganalisis pesan-pesan tersebut. Seperti banyak orang, setiap tahun, setiap kali Lebaran, hape saya seperti tidak pernah berhenti mendapatkan pesan. Entah via email, via SMS, atau lewat BBM. Untung saya tidak pakai WA atau chat lain. Bisa makin tidak keruan banyaknya pesan yang masuk. Nah, banyak sekali dari pesan-pesan itu yang sifatnya copas alias copy-paste. Pesan yang sama di-copy, lalu dikirim ulang ke orang lain, atau secara otomatis dikirim ke banyak orang. Contoh: ”Untuk teman-teman yang merayakan, selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin.” He he he, kalau di-ranking level ketulusannya, mungkin ini level paling bawah. Mungkin benar-benar tulus, tapi tidak menunjukkan effort alias upaya untuk benar-benar minta maaf. Satu level di atas itu: Pesan yang juga hasil copas, alias bersifat generik, tapi dikirim secara pribadi dengan bumbu customization. Misalnya ditambahi nama orang yang dituju. Contoh: ”Untuk Mas Bagus, selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin.” Baru kemudian ada pesan yang benar-benar dibuat khusus kepada orang yang dituju. Tidak sekadar menyebut nama, tapi kata-katanya spesifik dan benar-benar bermakna bagi orang yang dituju. Contoh: ”Untuk Mas Hartono, selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Mohon maaf lahir dan batin. Khususnya mohon maaf karena selama ini sering mengejek berat badan Anda. He he he…” Tentu saja, hampir tidak mungkin meng-customize pesan untuk setiap orang di phonebook Anda. Kecuali Anda memang pengangguran tingkat tinggi! Bagaimana dengan mendatangi langsung orangnya untuk minta maaf? Nah, ini tentu lebih membutuhkan effort, dan menunjukkan niatan lebih dari sekadar menyibukkan jempol. Tapi, bukankah ini ada level-levelnya juga? Banyak orang melakukan open house, dan kedatangan banyak tamu. Nah, bisakah disurvei, berapa persen orang yang bertamu itu benar-benar tulus minta maaf lahir batin? Kok jangan-jangan malah karena ada kepentingan tertentu, atau mungkin karena dia sedang kelaparan dan mencari makanan enak ya? Mohon maaf (ini tulus, serius), bukan berarti saya menulis ini dengan maksud merendahkan siapa saja. Seperti kebanyakan orang, saya juga mengidamkan suasana yang benar-benar tulus 100 persen. Bahwa semua permintaan maaf adalah tulus, dan segala perbuatan buruk terhadap siapa pun tidak akan terulang lagi. Sehingga pada Lebaran tahun berikutnya, mohon maafnya kembali tulus, tapi untuk kesalahan-kesalahan baru. Karena sekarang ini, rasanya terlalu banyak permintaan maaf yang tulus, atau tidak tulus, tapi kemudian segalanya akan kembali sama seperti sebelumnya. Kesalahan, kebencian, dan kejahatan sama akan kembali diulangi, dan dengan perasaan tidak ada salahnya. Karena pada Lebaran tahun depan bisa minta maaf lagi! Buktinya, setelah Lebaran, komunitas-komunitas penyebar kebencian dan berita-berita menyesatkan tetap beredar. Orang-orang yang melakukan segala cara untuk kepentingan tertentu juga sepertinya tetap berbuat yang sama. Dan itu tidak hanya berlaku di Indonesia. Di seluruh dunia sama. Amerika, yang merupakan simbol pluralisme, keterbukaan, dan toleransi, pun sampai hari ini masih memiliki komunitas-komunitas yang mempromosikan kebencian. Baru-baru ini, saya membaca artikel di USA Today, bahwa kelompok kulit putih yang dikenal rasis, Ku Klux Klan, tetap eksis. Menurut artikel itu, komunitas tersebut tetap ada walau kekuatannya terus berkurang. Jumlah kegiatan berlatar belakang kebencian terus berkurang, bahkan terpecah belah. Penyebabnya: Berantem sendiri di internalnya. Pemimpinnya datang dan pergi, anggotanya saling tidak mempercayai. Positifnya, pengaruh mereka terus menurun. Walau terus melakukan gerakan-gerakan anti-kulit hitam, anti-LGBT, dan lain-lain, kesibukan mereka sekarang lebih banyak terbatas pada menyebarkan brosur. Bukan kegiatan-kegiatan yang lebih mengganggu masyarakat. Yah, semoga saja di Indonesia komunitas-komunitas penyebar kebencian seperti itu juga terus berkurang pengaruhnya. Semoga masyarakat di Indonesia semakin makmur, dan itu berarti semakin maju, semakin mudah memilah-milah mana yang benar-benar baik atau sekadar terlihat baik. Kalau sudah begitu, maka permintaan maaf bisa benar-benar berarti permintaan maaf. Bukan karena dipaksa, bukan karena terpaksa, bukan karena kebetulan sudah waktunya bermaaf-maafan saat Lebaran… Bisakah? Kapan ya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: