Momon: PPP Masih Dualisme, Belum Inkracht
KUNINGAN - Pergantian Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD dari Drs H Momon Suherman kepada H Uus Yusuf SE, mendapat tanggapan dari pihak PPP pimpinan Momon. Kendati menerima proses perubahan pimpinan BK karena berjalan normatif, namun dia mengatakan, PPP hingga saat ini masih berada dalam dua kubu, yakni PPP kubu Djan Faridz dan PPP kubu Romahurmuziy (Romy). Kepada koran ini, Ketua DPC PPP Kuningan kubu Djan Faridz, Drs H Momon Suherman mengaku, sama sekali tidak mempermasalahkan perombakan salah satu AKD, dalam hal ini ketua BK dari dirinya kepada H Uus Yusuf SE. Dia mengaku sudah menjabat ketua BK selama tiga tahun, sehingga wajar kalau posisinya digeser oleh yang lain. Mengingat, aturannya memang minimal 2,5 tahun jabatan. “Perombakan AKD itu wajar-wajar saja. Itu normatif kok, karena aturannya minimal dua setengah tahun, saya sudah tiga tahun menjadi ketua BK. Untuk ketua BK yang baru, ya harus melanjutkan kebijakan yang sudah dilaksanakan sewaktu saya jadi ketua BK. Harus lebih baik dari saya, karena saya juga dituntut lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya,” harap Momon. Namun demikian, dengan nada tegas Momon menyampaikan, terkait masalah kepengurusan PPP saat ini, masih dalam dualisme kepemimpinan karena belum inkracht (berkekuatan hukum tetap). Dia juga mengajak pihak Uus untuk menunggu proses hokum selesai. “Kita masih bersama-sama, nanti juga akan ada pengumuman dari pemerintah. Sekarang masih ada upaya hukum, kasasi dan PK. Kita tunggu dulu sampai inkracht. Kita masih dualisme, masih ada dua kubu,” tegas Momon. Senada, Wakil Ketua DPC PPP kubu Momon, Maksum Madrohim menyampaikan, PPP saat ini masih dualism dan itu harus dipahami semua pihak, khususnya di internal PPP. Diakuinya, legalitas formal memang sudah berada di tangan PPP kubu Romi. Hanya saja, persoalan saat ini proses hukum masih belum selesai. Dikabulkannya SK kepengurusan PPP oleh MA, menurutnya ada dua klausul hukum dalam masalah tersebut. Yakni hokum pidana dan perdata. Untuk hukum pidana, PK hanya berlaku satu kali, sedangkan untuk hukum perdataberdasarkan edaran MA (Mahkamah Agung) ada tiga kali maksimal PK (Peninjauan Kembali). (muh)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: