Indonesia Darurat Narkoba!

Indonesia Darurat Narkoba!

JAKARTA - Kendati Polri baru saja memecahkan rekor dengan menggagalkan penyelundupan satu ton sabu asal Tiongkok, namun ternyata tidak ada efek psikologis terhadap bandar. Kemarin (15/7), atau tepat dua hari pasca pengungkapan kasus satu ton sabu, Badan Narkotika Nasional (BNN) berhasil membuat bandar asal Tiongkok gigit jari saat menyelundupkan 50 kg sabu ke Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Tak tanggung-tanggung, dari sembilan orang yang ditangkap, dua di antaranya tertembak mati karena berupaya melarikan diri dan melawan petugas. Deputi Pemberantasan BNN Irjen Arman Depari menjelaskan, saat ini baru ada sembilan orang bandar dengan peran operator ditangkap. ”Yang dua meninggal dunia saat proses penangkapan. Dua ini melawan dan tewas karena petugas tidak ingin dia kabur,” ujarnya. Kasus ini masih sangat hangat. Semua masih dalam pengembangan. Saat ini, masih dikejar pihak lain yang sesuai keterangan tujuh tersangka merupakan bandar besarnya. ”Masih dikembangkan dulu,” ujar jenderal berbintang dua tersebut. Menurutnya, 50 kg sabu itu dikirim dari Tiongkok menggunakan sebuah kapal dan transit di Malaysia. Kapal itu lalu menurunkan 50 kg sabu ke perahu-perahu nelayan yang disewa oleh bandar. ”Itu dulu ya,” ujarnya sembari menyebut masih berada di bandara Kualanamu, Medan. Pengungkapan 50 kg sabu ini yang selang dua hari dari pemecahan rekor kasus satu ton sabu menunjukkan Indonesia sudah dalam kondisi darurat peredaran narkoba. Intensitas penyelundupan narkotika begitu tinggi dan bahkan pengungkapan sebesar apapun tidak akan memberikan dampak psikologis pada bandar. Kepala Humas BNN Kombespol Sulistiandriatmoko menuturkan, kemungkinan bandar melakukan perhitungan taktis bahwa saat ada pengungkapan satu ton sabu itu, justru membuat petugas landai. Sehingga, menjadi waktu yang tepat untuk mengirimkan barang haram ke Indonesia. ”Bandar berpikirnya kita akan landai setelah mengungkap satu ton, ternyata tidak,” jelasnya. Terlebih lagi, diketahui bahwa empat orang yang ditangkap dalam kasus satu ton sabu itu hanya operator lapangan. Bandar besarnya masih bebas di Taiwan dan sebagian ada yang di Indonesia. ”Maka, mereka tetap terus berupaya memasukkan narkotika,” paparnya. Selain itu, kemungkinan bandar yang mengirim 50 kg sabu ini tidak terhubung dengan bandar yang mengirim satu ton sabu. Karena itu, para bandar ini cuek bebek dan hanya ingin memanfaatkan momentum. ”Yang utama, kondisi ini menunjukkan intensitas penyelundupan narkotika yang begitu deras,” tuturnya. Bila berdasar data United Nation Office Drugs and Crime (UNODC), pengungkapan narkotika di Indonesia itu hanya 20 persen dari peredaran narkotika. Artinya, bila ada satu ton sabu yang digagalkan peredarannya, maka sudah ada empat ton sabu yang beredar di pasaran Indonesia. ”Begitulah parahnya peredaran narkotika,” jelasnya. Apalagi, ada prediksi bahwa Indonesia akan menjadi sasaran bandar asal Filipina, dikarenakan bandar asal Filipina mengalihkan pasarnya. Hal itu sebagai dampak dari kebijakan Presiden Filipina Rodigo Duterte yang begitu keras. ”Kita sebagai negara tetangga akan terdampak,” ujarnya. Dengan begitu, bisa jadi dalam waktu dekat akan mengalir dengan sangat deras penyelundupan narkotika asal Filipina. Kondisi ini memang harus diatasi secara bersama. ”Sinergi semua lembaga dan masyarakat urgen sekali,” ungkapnya. Terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai hukuman mati cukup pantas diberikan untuk para tersangka kasus penyelundupan sabu-sabu seberat satu ton. Dia membandingkan dengan kasus-kasus narkotika terdahulu yang pelakunya sampai divonis hukuman mati. Di Indonesia, ekseskusi mati itu dilakukan dengan cara tembak mati di hadapan satu regu eksekutor. ”Yang (penyelundup) kecil satu kilo saja dihukum mati, apalagi satu ton. Karena itu, hukum mati gembong narkoba,” tegasnya saat kunjungan kerja ke Padang, Sumatera Barat, kemarin (15/7). Eksekusi mati untuk bandar narkoba memang sudah dilakukan beberapa kali. Misalnya dalam kasus Freddy Budiman, seorang bandar narkoba asal Surabaya yang ditangkap pada 2009 karena memiliki 500 gram sabu-sabu. Dia juga diketahui mengimpor 1,4 juta butir ekstasi dan masih mengendalikan peredaran narkoba dari penjara. Pada akhir Juli 2016, bukan hanya Freddy yang dieksekusi di hadapan regu tembak. Ada tiga warga negara asing lainnya. Dua orang merupakan warga Nigeria. Bernama Michael Titus (34) dengan barang bukti 5,2 kilogram heroin dan Humphrey Ejike (40) yang memiliki dan mengedarkan 1,7 kilogram heroin. Seorang lagi warga Afrika Selatan bernama Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34), dengan barang bukti 2,4 kilogram heroin. JK pun memuji pengungkapan satu ton sabu-sabu yang dilakukan petugas Polda Metro Jaya. Menurut dia, itu adalah prestasi yang layak diapresiasi karena merupakan penangkapan paling besar selama ini. ”Itu prestasi luar biasa. Apalagi, nilainya juga sangat besar, triliunan,” tutur JK. Nilai sabu-sabu seberat satu ton tersebut diperkirakan mencapai Rp1,5 triliun. JK juga meminta aparat di Indonesia, baik Polri maupun Badan Narkotika Nasional (BNN), terus meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak. Terutama intelijen negara lain. Kerja sama yang baik dengan komunitas intelijen luar negeri terbukti efektif mengendus penyelundupan. ”Jadi, harus ada langkah-langkah yang lebih aktif untuk meningkatkan kerja sama,” pesannya. Sementara itu, Polda Metro Jaya terus mengupas lapis demi lapis fakta untuk mengungkap kasus penyelundupan satu ton sabu-sabu asal Tiongkok tersebut. Seperti diberitakan, Kamis lalu (13/7) tim gabungan Polda Metro Jaya, Polres Metro Depok, BNN Provinsi Banten, dan Polda Banten berhasil mengungkap penyelundupan satu ton sabu-sabu di Pantai Anyer, Banten. Petugas gabungan menangkap empat pelaku dan satu di antaranya tewas di tempat akibat terjangan timah panas polisi. Keempat pelaku adalah Lin Ming Hui yang berperan sebagai otak kejahatan (tewas), Chen Wei Cyuan, Liao Guan Yu, dan Hsu Yung Li. Wakil Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya AKBP Gidion Arif Setiawan mengatakan, berdasar pemeriksaan terhadap tiga pelaku yang tertangkap, didapat fakta bahwa sabu-sabu yang dikirim dengan kapal dari Guangzhou, Tiongkok, itu sempat transit di Myanmar sebelum dibawa masuk ke Indonesia. Rute tersebut terus didalami untuk mengetahui pola pengiriman narkoba ke Indonesia. ”Kami masih analisis detail peta (pengiriman)-nya,” ujar Gidion di Mapolda Metro Jaya kemarin. Selain ketiga pelaku, kemarin polisi memeriksa tiga saksi yang diduga pernah berinteraksi dengan keempat pelaku. Pemeriksaan dilakukan empat jam di Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Gidion menyebutkan, tiga saksi itu adalah SKS (perempuan), RS (laki-laki), dan JHR (laki-laki). Ketiganya memiliki peran yang berbeda. ”SKS dan JHR adalah satu teman. Keduanya asli Serang, Banten. Kalau RS itu asli Jakarta,” terangnya. Mantan Kapolres Banyumas, Jawa Tengah, tersebut menjelaskan peran ketiganya sesuai hasil pemeriksaan. Dia menyatakan, SKS berperan sebagai penerjemah. Sebenarnya, sehari-hari SKS tidak berprofesi penerjemah. Namun, karena pernah bekerja di Taiwan, dia paham sedikit bahasa Taiwan. Dalam menjalankan tugasnya itu, SKS mengajak temannya, JHR. Pelaku membayar SKS hingga belasan juta rupiah. ”Kami memperkirakan pelaku membayar SKS dua kali lipat. Angkanya belasan juta,” terang Gidion. Namun, SKS tidak hanya bertugas sebagai penerjemah para pelaku. SKS, ungkap Gidion, juga bertugas mencarikan lokasi penginapan dan restoran bagi para pelaku. ”Pokoknya, SKS ini meng-cover seluruh kebutuhan pelaku. Termasuk mencari sim card (kartu telepon seluler) untuk berkomunikasi,” ucapnya. Menurut Gidion, SKS dan JHR menemani para pelaku ke mana pun pergi selama hampir sebulan. Para pelaku menginap di salah satu hotel di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Sayang, Gidion enggan menyebutkan nama hotel tersebut. Ketika bepergian selama di Jakarta-Anyer, para pelaku menggunakan moda transportasi berbasis online atau aplikasi Grab dengan akun milik SKS. Nah, polisi juga memeriksa RS sebagai sopir Grab yang mengantarkan pelaku. Gidion mengatakan, meski sudah berinteraksi sekitar sebulan dengan ketiga saksi, para pelaku sangat erat menutup rencana kedatangan paket kiriman di Pantai Anyer. Ketika suatu hari meminta ditunjukkan Pantai Anyer, pelaku bilang hanya ingin memancing dan melihat pemandangan pantai. Sejak Selasa (11/7) atau dua hari menjelang kedatangan kapal pengangkut sabu-sabu, ketiga saksi sudah tidak diminta menjadi penerjemah atau sopir. Artinya, sejak dua hari menjelang datangnya kiriman sabu-sabu, pelaku tidak lagi menggunakan orang lokal untuk operasi sehari-hari. ”Analisis kami, mereka khawatir ketahuan,” kata Gidion. Karena itu, polisi lantas melepas tiga saksi tersebut setelah selesai memberikan keterangan. Menurut Gidion, tiga orang itu memang benar-benar dibayar untuk pekerjaan penerjemah dan sopir serta tidak tahu-menahu bahwa empat orang asing yang mempekerjakan mereka adalah jaringan gembong narkoba. Sementara itu, Gidion mengatakan hasil pemeriksaan dari para pelaku yakni SS tersebut sudah dibungkus sejak di pelabuhan Guangzhou, Tiongkok. ”Kapal besar bentuknya. Dari Tiongkok ke Myanmar, baru tiba di Anyer, Indonesia,” paparnya. ”Tapi masih kami analisis lagi petanya seperti apa,” tambah dia. Dia menambahkan, para pelaku menyebutkan siap mati jika dalam penantian SS tersebut gagal. ”Asumsi pelaku, skenario pelaku akan dihadang di jalan. Dia tidak memperkirakan kami persis di TKP. Kalau dihadang di jalan sistem mereka ya bakal menabrak siapa pun itu,” terang Gidion. (idr/jun/sam)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: