Kisah Siti Masyitoh, Gagal Melanjutkan Sekolah karena Tak Punya biaya

Kisah Siti Masyitoh, Gagal Melanjutkan Sekolah karena Tak Punya biaya

Pemerintah sudah mewajibkan seluruh anak untuk ikut wajib belajar 9 tahun. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran melalui berbagai bantuan. Seperti bantuan operasional sekolah (BOS) dan lainnya. Bahkan, pemerintah menggratiskan biaya untuk menyukseskan Wajardikdas 9 Tahun. Tapi, masih ada anak yang akhirnya hanya lulus SD dan tak mampu melanjutkan ke jenjang SMP. Agus Panther, Kuningan NAMANYA Siti Masyitoh. Gadis berusia 17 tahun itu lebih banyak menunduk ketika menceritakan kegetiran hidupnya yang dibalut kemiskinan. Sejak kecil, Siti sudah terbiasa hidup menderita. Entah apa penyebabnya, kedua orang tuanya bercerai. Akhirnya dia tinggal bersama ibunya, Asih serta adiknya. Sedangkan sang ayah, warga Sampay, Kecamatan Karangkancana, memilih meninggalkannya dan pergi entah kemana. Siti kini tinggal bersama ibu, adiknya serta kakek dan neneknya di Dusun II, Desa Sukaharhaja, Kecamatan Cibingbin. Siti tak tahu bagaiamana kondisi ayah dan ibunya sebelum bercerai. Namun dia menyesalkan sikap ayahnya yang meninggalkan begitu saja dirinya, dan adiknya. Padahal saat itu sangat membutuhkan biaya untuk kehidupan sehari-hari. “Ayah dan ibu cerai sudah agak lama. Saya tidak tahu penyebab kedua bercerai. Kata ibu sih, ayah temperamental dan sering marah-marah tanpa alasan jelas. Juga kerap kasar kepada ibu. Sekarang saya tidak tahu dimana ayah tinggal, lantaran tidak pernah ada kontak,” tutur Siti sembari mengemil makanan ringan yang ada di dalam toples. Pasca bercerai, kehidupan ekonomi ibunya makin sulit dan menjauhkan mimpinya untuk meneruskan sekolah. Semula, Siti berharap bisa meneruskan pendidikan ke jenang lebih tinggi selepas lulus dari SD. Tapi, nasib berkata lain. Siti tak bisa menggapai mimpinya karena ketiadaan biaya. Jangankan untuk bekal ke sekolah, guna makan sehari-hari saja dia dan keluarganya kesulitan. “Saya sebenarnya ingin seperti yang lain, bisa sekolah. Namun mimpi itu tidak bisa diwujudkan karena keluarga tak punya biaya,” paparnya. Mata Siti menerawang. Tangannya melipat-lipat ujung kaos oblong yang dikenakannya. Warna kaos oblong yang dipakaianya sudah terlihat kusam. Sesekali dia bangkit dari duduknya berjalan menuju sisi saluran air. Kemudian Siti kembali duduk di tumpukan batu, depan gubuknya. “Sekolah memang gratis, tapi kan tetap harus punya biaya. Sedangkan orang tua sama sekali tidak punya uang. Akhirnya saya memilih tidak melanjutkan sekolah. Saya lalu merantau ke Tangerang, Banten. Di sana hanya kuat setahun kemudian kembali ke sini (Sukaharja, red). Di Tangerang, saya bekerja sebagai penjaga warung nasi,” sebut Siti. Kehidupan getir yang dialaminya itu berlangsung sampai sekarang. Siti juga harus rela makan seadanya. Malahan sering tanpa lauk pauk. Terkadang Siti menyesal tak bisa sekolah sehingga tidak bisa membantu ekonimi keluarganya agar lebih baik. Seandianya dulu orang tuanya tidak bercerai, kemungkinan untuk tetap sekolah masih terbuka. “Teman-teman saya sekarang sudah lulus SMA atau SMK mungkin sudah banyak yang bekerja, sedangkan saya hanya lulusan SD. Saya sering minder dan akhirnya hanya bergaul dengan tetangga di sekitar rumah. Kalau keinginan sekolah, sekarang sudah tidak ada lagi. Usia saya sudah 17 tahun,” pungkasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: