BI Dilaporkan ke Ombudsman Gara-Gara ini…

BI Dilaporkan ke Ombudsman Gara-Gara ini…

JAKARTA-David Tobing, pengacara sejumlah kasus perlindungan konsumen, melaporkan Bank Indonesia (BI) ke Ombusman, Senin (18/9). Hal itu tak lepas dari rencana BI mengatur biaya administrasi atas pengisian top up uang eletronik (e-money). ’’Kami ingin rencana itu (penerapan biaya administrasi) tidak diteruskan,’’ ujarnya setelah melapor. Hal utama yang dipersoalkan adalah keharusan konsumen untuk menanggung beban administrasi. Padahal, uang elektronik sejak awal tidak dijamin lembaga penjamin simpanan. Jika kartunya hilang, otomatis saldo juga melayang. Ditambah lagi, saldo di dalam kartu pembayaran itu tidak mendapatkan bunga. ’’Seharusnya, yang diterima konsumen adalah efisiensi, bukan dikenai biaya top up,’’ kata David. David menuding kebijakan tersebut terlalu berpihak pada perbankan. Karena itu, dia tidak hanya melapor ke Ombudsman. David juga bersurat kepada Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo dan Presiden Joko Widodo. Dia berharap presiden yang karib disapa Jokowi tersebut bisa membatalkan kebijakan itu.  Kebijakan pembebanan biaya top up uang elektronik kian kontroversial karena pada pengujung Oktober seluruh pintu tol wajib menggunakan e-money. Dengan kebijakan yang bersifat mandatory tersebut, perbankan bisa menangguk untung besar dengan adanya biaya top up. Per isi ulang, perbankan akan mengenakan biaya hingga Rp2.500. Komisioner Ombudsman Dadan Suparjo Suharmawijaya menuturkan, pihaknya akan meminta klarifikasi dari pihak-pihak terkait.  Dalam hal ini, yang utama adalah klarifikasi dari BI selaku terlapor. Secara terpisah, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mengecam BI. Menurut dia, sebenarnya bank sudah untung dengan adanya sistem pembayaran nontunai. Sebab, pihak bank sudah menerima uang di muka, sedangkan konsumen belum bertransaksi. ’’Tidak fair dan tidak pantas bila konsumen justru diberi disinsentif berupa biaya top up,’’ ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi. Sementara itu, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Eni V. Panggabean mengatakan, BI masih mengkaji rencana peraturan BI (PBI) mengenai pengenaan biaya isi ulang uang elektronik. Dia menolak berkomentar lebih jauh tentang penolakan dari sejumlah kalangan terhadap PBI tersebut. ’’Sedang dibahas, belum bisa komentar,’’ kata Eni. Di sisi lain, perbankan tetap bersikukuh bahwa hal tersebut perlu dilakukan. Sebab, bank membutuhkan investasi untuk menciptakan iklim transaksi nontunai. Mulai mencetak kartu, membeli alat pembaca kartu (reader), biaya pemindahan dana, biaya jaringan, hingga biaya kertas pada mesin electronic data capture (EDC). ’’Sebenarnya, investasi itu sudah masuk RBB (rencana bisnis bank) tahunan. Jadi, kalau ke depan bank mau menambah titik-titik top up, bisa lebih mudah,’’ tutur Direktur PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sis Apik Wijayanto. Menurut dia, tidak mudah bagi bank untuk bisa masuk ke bisnis uang elektronik. Banyak peraturan yang harus diikuti, terutama soal keamanan bertransaksi. Belum lagi, bank harus mempunyai modal untuk mencetak kartu dan membeli reader. Biaya cetak satu kartu uang elektronik beserta chip-nya saat ini sekitar Rp18 ribu–Rp20 ribu. Adapun biaya untuk membeli EDC dan reader di tol sekitar Rp2,5 juta–Rp3 juta. Direktur PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Handayani menambahkan, bank membutuhkan dana untuk mendukung kewajiban pembayaran tol secara nontunai. Bank berharap bisa menambah touch point uang elektronik agar masyarakat semakin mudah melakukan isi ulang. ’’Karena ini kan bicara infrastruktur, ya. Kalau pengelola jalan tol terus berekspansi, bank juga harus menambah touch point-nya kan,’’ paparnya. (byu/rin/c15/sof)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: