Senjata SAGL Tertahan di Bandara Soetta, Polri Pastikan Sesuai Standar
JAKARTA - Setelah diterpa isu video Brimob berlatih dengan RPG (rocket propelled Granede), Polri kembali diguncang dengan pengadaan senjata Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) sebanyak 280 pucuk dan amunisinya sebanyak 5.932 butir. Hingga saat ini, senjata-senjata tersebut masih tertahan di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) karena belum mendapatkan rekomendasi dari Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto membenarkan bahwa SAGL yang kini tertahan tersebut, memang pengadaan yang dilakukan Polri. Pengadaan dilakukan secara sah dengan pihak ketiga. ”Proses lelang telah direview Irwasum serta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun, itu bukan senjata untuk menghancurkan tank,” terangnya kemarin. Pengadaan senjata itu prosedurnya datang terlebih dahulu, baru kemudian dicek oleh BAIS dan TNI. Nantinya, kalau dilihat tidak sesuai prosedur, bisa dilakukan reekspor atau diekspor kembali ke negara asal. ”Namun, dalam pengadaan pada 2015 dan 2016 tidak terjadi reekspor itu. Ini sudah ketiga kalinya pengadaan ini,” terangnya. Untuk tertahannya senjata tersebut di bandara, karena belum adanya rekomendasi BAIS, Setyo enggan untuk berkomentar. ”Kalau itu tanya BAIS-nya, bukan kapasitas saya,” papar mantan Wakabaintelkam. Sementara Komandan Korps Brimob (Dankorbrimob) Irjen Murad Ismail menuturkan, sebenarnya ada beberapa jenis untuk SAGL ini. Jenis yang lawas itu terpasang pada senjata induk, seperti AK 47 dan M16. ”Kalau untuk SAGL ini berdiri sendiri,” jelasnya. Fungsi dari senjata tersebut bukan untuk menembak tank. Namun, berdasarkan amunisinya itu, untuk melontarkan gas air mata, melontarkan asap, peluru hampa dan untuk peluru tajamnya digunakan untuk membuat musuh yang sembunyi keluar. ”Sama sekali tidak bisa untuk menembak tank,” terangnya. Cara menembaknya juga diarahkan ke atas. Bila ditembakkan lurus justru amunisinya mengenai tanah. Untuk senjata tajamnya, ditembakkan dalam kondisi adanya musuh bersembunyi. Senjata ditembakkan ke arah atas yang diprediksi nanti meluncur dekat lokasi musuh sembunyi. ”Begitu ditembakkan, nanti peluru tajam ini akan meledak di dekat lokasi musuh dan keluarlah butiran-butiran amunisi kaliber kecil yang menyebar. Sehingga, musuh harus berpindah dari lokasi tersebut. Kalau dalam perang hutan, musuh yang sembunyi di pohon, kalau perang kota di balik gedung,” urainya. Murad menuturkan, peluru tajamnya juga tidak mematikan. Hanya melukai sasaran. Tidak bisa untuk menghancurkan sasaran tersebut. ”Hanya luka, tidak bisa membunuh,” papar jenderal berbintang dua tersebut. Sementara Executive Vice Director of Partnership for Advancing Democracy and Integrity M Zuhdan menjelaskan, penggunaan senjata militer dan kepolisian telah diatur oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Untuk militer berdasarkan Geneva Protocol 1925 dan untuk kepolisian adalah Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Eforcement Officials yang dibuat PBB. ”Seharusnya, senjata kepolisian mengacu pada aturan tersebut,” jelasnya. Masalahnya, saat ini belum ada pakta integritas yang membedakan dengan jelas antara senjata TNI dan Polri di Indonesia. Mana senjata yang bisa digunakan untuk Polri dan mana senjata yang digunakan TNI. ”Sehingga, dapat dengan benar diketahui senjata mana yang diperbolehkan dan tidak,” tuturnya. Bila ada pakta integritas itu, maka satu institusi dengan institusi lainnya juga tidak perlu untuk saling curiga. Karena telah mengetahui dengan pasti senjata yang boleh dan tidak. ”Kalau ternyata senjata itu diperbolehkan, namun ternyata kondisinya semacam ini. Bisa jadi, karena institusi lain tidak mengetahui bahwa senjata itu boleh,” paparnya. Terpisah, Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, dia belum bisa banyak memberi komentar terkait senjata yang diimpor dari luar negeri itu. “Saya belum dapat info yang valid,” terang dia saat dikonfirmasi Jawa Pos (Radar Cirebon Group) kemarin. Jika senjata itu diperuntukkan bagi polisi, maka kewenangan untuk menjawab ada di Komisi III. Sebab, polisi merupakan mitra Komisi III. Anggota Komisi III Taufiqulhadi mengatakan, pihaknya juga masih menunggu keterangan resmi dari polisi atau TNI. Jika sudah ada penjelasan resmi, dia baru bisa memberikan keterangan secara jelas. “Nanti kalau saya ngomong, malah tambah salah,” ungkap dia. Yang dia tahu, Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) merupakan senjata untuk militer. Politikus Partai Nasdem itu belum bisa menjelaskan terkait anggaran pengadaan senjata yang ada di Polri. (idr/lum)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: