Ulus Pirmawan, Lulusan SD yang Terpilih sebagai Petani Teladan Asia-Pasifik
Revolusi pertanian ala Ulus Pirmawan diawali dengan menyeimbangkan kebutuhan pasar dengan jumlah produksi untuk tiap komoditas. Tiap pekan ada saja kelompok petani dari dalam dan luar negeri yang datang untuk belajar. FOLLY AKBAR, Bandung Barat SENJA sudah menjelang. Tapi, aktivitas di tempat pengepakan hasil pertanian itu justru tengah sibuk-sibuknya. Tiga orang yang bertugas harus berkejaran dengan waktu. “Besok pagi sudah harus siap dikirim ke kota,” kata Ulus Pirmawan di tengah-tengah kesibukan tersebut. Jawa Pos (Radar Cirebon Group) harus menunggu sekitar sejam sebelum bisa bertemu sosok yang jadi motor kelompok tani di Kampung Gandok, Desa Sunten Jaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, tersebut. Maklum, tamunya pada Sabtu akhir Oktober lalu (28/10) itu mengalir. “Sejak dapat penghargaan, banyak tamu yang ke sini,” ujarnya dengan senyum merekah. Ulus memang bulan lalu dinobatkan sebagai petani teladan se-Asia-Pasifik oleh Food and Agriculture Organization (FAO) of The United Nations (UN) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bersama empat petani lainnya dari Afghanistan, Jepang, Nepal, dan Thailand, dia menerima penghargaan itu di Bangkok, Thailand, pada 16 Oktober lalu. “Alhamdulillah, rasanya bangga sekali,” ungkap pria 43 tahun tersebut. Penghargaan besar yang diterimanya merupakan buah kerja kerasnya selama puluhan tahun. Yang diawali keprihatinan pria yang hanya lulusan sekolah dasar (SD) itu terhadap kondisi petani di lingkungan sekitar. Anak ketiga pasangan Adin dan Juju tersebut mengenang, meski memiliki potensi yang besar, kondisi petani di Lembang hingga dekade 2000-an belum menggembirakan. Penghasilan petani tak stabil. Kadang cukup, tapi tidak jarang juga kurangnya. Itu mendorong Ulus untuk mencari tahu penyebabnya. Berbekal pengalamannya menjadi petani, plus mengikuti sejumlah kursus dan sosialisasi, Ulus akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan: tidak seimbangnya jumlah produksi membuat petani mengalami kerugian. “Kalau misal kebutuhan tomat di pasar 1 ton, tapi kita panen 4 ton, otomatis harga jadi murah. Di sisi lain kita kosong,” kata dia. Untuk keluar dari kondisi tersebut, Ulus bersama kelompok tani Wargi Panggupay di desanya pun mulai menyiapkan strategi. Caranya, mereka mulai menghitung kebutuhan pasar untuk setiap komoditas. Mulai tomat, buncis, kol, brokoli, sawo, terong, hingga cabai. “Kalau pasar butuhnya sehari 1 ton, ya kita perkirakan berapa benih yang harus ditanam setiap waktunya. Itu kita bisa hitung,” terang pria kelahiran Bandung, 16 Februari 1974, tersebut. Selain keseimbangan produksi, Ulus mulai mengurai persoalan di aspek distribusi dan penjualan. Selama berpuluh-puluh tahun, penjualan komoditas sayuran di Lembang diserahkan kepada para tengkulak. Petani tidak pernah tahu berapa harga komoditas itu dijual ke pasar. Imbasnya, petani hanya menerima uang sebanyak yang diberikan tengkulak. Tak ingin ”kegelapan” distribusi itu terus terjadi, Ulus pun menginisiatori perubahan cara memasarkan hasil pertanian. Petani memberikan harga saat menyerahkan produk ke para tengkulak. Karena hasil pertanian sudah disesuaikan dengan jumlah kebutuhan, posisi tawar petani pun lebih kuat. ”Kami sekarang tawarkan, ini pasarannya harganya sekian. Gimana kalau dibeli sekian. Akhirnya kami kuat. Tengkulak juga yang berhenti,” ceritanya dengan ekspresi bangga. Agar kian meningkatkan daya tawar, kelompok tani Wargi Panggupay juga giat meningkatkan kualitas. “Walau kami belum punya pasar, kalau barang berkualitas, itu bisa dijual,” tegasnya. Berkat sejumlah “revolusi pertanian”, para petani di Kampung Gandok bisa mencapai kesejahteraan. Pendapatan rata-rata meningkat hampir empat kali lipat. Jika dulu hanya mendapat Rp2 juta sampai Rp3 juta per bulan, kini penghasilan mereka bisa mencapai belasan juta rupiah. Karena alasan itu pula, keamanan di daerah yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Kota Bandung tersebut relatif terjamin. “Motor di sini jarang dimasukkan ke rumah. Karena warga sejahtera,” kata dia. Dari semua komoditas sayuran yang dihasilkan kelompok tani Wargi Panggupay, buncis Kenya menjadi unggulan. Kini distribusinya sudah menembus pasar Singapura. Dua pekan sekali, sekurang-kurangnya 1,5 ton dikirim ke negeri “1.001 larangan” itu. Ulus menceritakan, ide menanam buncis Kenya baru muncul pada 2010. Saat itu dia melihat besarnya potensi yang diperoleh. Sayuran jenis itu menjadi komoditas primadona di Singapura dan beberapa negara Eropa. “Tahun 2010 akhirnya kami impor dari Kenya. Waktu itu harga bibitnya Rp600 ribu per kilo,” kata dia. Siapa sangka, tanaman tersebut cocok dengan kondisi tanah di Lembang. Karena bibit tidak murah, Ulus dan kawan-kawan pun mulai membudidayakan sendiri. Seiring berjalannya waktu, kualitas buncis Kenya di Lembang pun terus meningkat. Bahkan saat ini jauh lebih baik daripada produk negara asalnya. Tak ayal, perwakilan negara Kenya yang penasaran pun sampai dua kali datang ke Lembang. Yakni pada 2012 dan September 2017. Menurut Ulus, lebih baiknya kualitas buncis Kenya di Lembang tidak lepas dari cara budi daya yang dilakukan. Selain penggunaan pupuk alami, pemilahan bibit juga sangat membantu. ”Warna bagus, terus kecerahan lebih cerah, rasanya lebih manis dan renyah. Terus gak bersepir,” ujarnya menerangkan keunggulan buncis Kenya miliknya. Karena kualitas yang baik, keuntungan menanam komoditas itu pun tergolong signifikan. Untuk bisa menghasilkan 1 kilogram buncis Kenya, ongkos yang dibutuhkan hanya berkisar Rp5.000. Sedangkan harga jual 1 kilogramnya mencapai Rp13.000. Kesuksesan Ulus dan kelompok tani Wargi Panggupay menciptakan produk pertanian yang menyejahterakan membuat namanya melambung. Hampir setiap pekan ada saja kelompok tani yang datang dan menimba ilmu di situ. Bukan hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri seperti Timor Leste, Malaysia, hingga Jepang. Yang terbaru, pemerintah Jepang tengah menjajaki penanaman brokoli guna memenuhi kebutuhan di negara mereka. “Insya Allah, kami bisa kirim ekspor ke sana,” kata dia. Di tengah kesuksesannya sebagai petani, Ulus tidak lantas berpuas diri. Saat ini dia terus mengampanyekan paradigma baru kepada para petani. Menurut dia, stigma petani sebagai buruh produksi tanaman pangan harus diubah menjadi pengusaha pertanian. Untuk itu, pertanian harus dikelola secara profesional. Layaknya sebuah perusahaan yang memproduksi barang. Karena itu, aspek kualitas produksi, pengemasan, hingga distribusi dan pemasaran perlu dikelola dengan baik. Sebagaimana yang dilakukan Ulus dan rekan-rekan Sabtu tiga pekan lalu. Hingga beranjak malam, mereka terus berkutat dengan pengemasan. Semua dilakukan sesempurna mungkin untuk menambah nilai pada hasil pertaniannya yang sudah sangat dijaga kualitasnya. Agar nanti calon konsumen puas. ”Selama manusia masih ada, pertanian tidak akan pernah mati. Karena orang masih hidup kan berarti butuh makan,” tuturnya. (*/c9/ttg)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: