Awalnya Membela, Kok Sekarang Fahri Hamzah Mencela Setnov, Ada Apa?

Awalnya Membela, Kok Sekarang Fahri Hamzah Mencela Setnov, Ada Apa?

JAKARTA–Setelah membela mati-matian tersangka kasus korupsi e-KTP Setya Novanto, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah tiba-tiba mencela Ketua DPR RI tersebut. Politisi asal Nusa Tengara Barat itu pun menyebut Setnov sudah tak bisa lagi bekerja secara maksimal. Malah, kinerja memble Setnov itu sudah terjadi jauh hari sebelum Ketua Umum Partai Golkar itu ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu diungkapkan Fahri kepada wartawan di Media Center DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/10). “Pak Novanto kan sudah lama tidak bisa melaksanakan fungsi kedewanannya terutama ke luar negeri karena dicekal,” ungkap Fahri. Kini, Novanto pun sudah tak bisa lagi berkantor di gedung para wakil rakyat itu. Akan tetapi, Fahri memastikan ketiadaan Novanto itu sama sekali tak memiliki arti bagi DPR. Sebab, sampai sejauh ini, kinerja DPR RI masih bisa dan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Fahri, kerja pimpinan dengan kolektif kolegial membuat fungsi ketua dapat dilakukan dengan diwakilkan pada empat orang wakil ketua. Bahkan, lanjut Fahri, semua dokumen atau keputusan yang dihasilkan DPR tetap sah sekalipun tanpa tanda tangan ketua atau diwakilkan pada jajaran pimpinan. “Karena secara hukum tidak ada yang mensyaratkan bahwa harus ada tandatangan ketua,” pungkas Fahri. Ini adalah sikap berbeda yang diutarakan Fahri terkait koleganya tersebut. Sebelumnya, Fahri juga pernah membuat surat terbuka pembelaannya kepada Novanto. Surat itu sendiri dibuatnya saat berada di Bandar Seri Begawan, Brunei beberapa waktu lalu. Pembelaan itu dibuatnya usai KPK melakukan upaya penjemputan paksa Novanto di kediamannya di Jalan Wijaya XIII nomor 19, Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Rabu (15/11) malam. Selain itu, Fahri juga sebelumnya mewanti-wanti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) agar tidak bisa memproses status jabatan Novanto sebelum terdakwa. Alasannya, hal itu sudah diatur dalam Undang-undang MD3 dan tata tertib DPR. Menurut Fahri, kalau MKD akan memproses sendiri, maka perlu mekanisme pembuktian. Tapi, kalau MKD menerima limpahan proses hukum itu gampang karena tidak perlu pembuktian secara etik. MKD hanya mengambil keputusan dari apa yang terjadi melalui peristiwa hukum di luar, misalnya terkait status seseorang. (san/rm/ruh/pojoksatu)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: