Hasil Perundingan Nol Besar

Hasil Perundingan Nol Besar

JAKARTA - Pertemuan bilateral antara Menteri Luar Negeri RI Marty Muliana Natalegawa dan Menlu Malaysia Dato Sri Anifah bin Haji Aman gagal menghasilkan kesepakatan signifikan. Dalam pertemuan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) yang berlangsung di kota Kinabalu, Malaysia kemarin (6/9) kedua negara hanya memaparkan dan berdiskusi seputar problem di perbatasan. Ekspektasi publik Indonesia agar ada hasil signifikan terkait perbatasan kedua negara yang kini berstatus sengketa tidak terpenuhi. Malaysia bahkan tidak meminta maaf terkait insiden penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) yang terjadi di wilayah perbatasan Tanjung Berakit, Kepri pada (13/8) silam. “Pertemuan berlangsung produktif. Kedua negara bertekad menyelesaikan berbagai masalah melalui diplomasi dan perundingan dengan mengedepankan asas kesetaraan dan saling menghormati,” ujar Marty mengawali pernyataan resmi Kemenlu RI dari Kinabalu yang diterima Jawa Pos di Jakarta tadi malam. Dalam pertemuan kedua Menlu itu hadir juga Dubes RI untuk Malaysia Dai Bachtiar, tim perwakilan Dephan RI, Polri, dan Bakorsutanal. Marty dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa perundingan dilandasi semangat yang konstruktif. Salah satu capaian sementara, kedua negara bertekad menghindari insiden seperti penangkapan tiga petugas DKP pada pertengahan Agustus lalu. “Kami menyampaikan protes dan keprihatinan mendalam Indonesia atas penahanan dan perlakukan tidak layak yang dilakukan Marine Police Malaysia (MPM) dan Polis Diraja Malaysia (PDRM),” kata Marty. Menanggapi hal itu, Menlu Malaysia Datu Sri Anifah justru tidak menyampaikan permintaan maaf. Namun, Sri Anifah menyampaikan komitmen bahwa Malaysia tidak akan memberlakukan prosedur penahanan kepada petugas Indonesia lagi di masa mendatang. Dalam keterangan resmi disebutkan, kedua Menlu sepakat menetapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Rules of Engagement (ROE) baru. Yakni, bagi para petugas terkait di perbatasan agar mencegah insiden di masa mendatang. Dalam kaitan ini, kedua negara menyepakati agar unsur sipil kedua negara yakni Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dari sisi Indonesia dan Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) dimasukkan dalam struktur Komite Umum Perbatasan yang sudah ada. “Penyempurnaan SOP dan ROE tersebut penting mengingat proses perundingan perbatasan akan memakan waktu yang tidak singkat.” kata Marty. Hasil lain yang dicapai dalam pertemuan bilateral ke-15 itu adalah kesepakatan untuk menggelar komisi lanjutan yang terjadwal tetap. Itu menegaskan tercapainya tujuan minor pemerintah RI agar Malaysia tidak lagi mengulur-ulur waktu forum bilateral terkait perbatasan. “Intensifikasi perundingan delimitasi perbatasan laut yang menjadi akar permasalahan antara kedua negara akan dibahas di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB pada minggu ketiga bulan September 2010,” kata Marty. Dalam pertemuan itu juga dijadwalkan perundingan perbatasan tingkat teknis ke-16 dan 17 yang masing-masing akan dilaksanakan pada 11-12 Oktober 2010 di Malaysia serta tanggal 23-24 Nopember 2010 di Indonesia. Menlu Malaysia Sri Anifah menegaskan bahwa pertemuan sehari Menlu Indonesia dan Malaysia di Kota Kinabalu tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan yang diagendakan untuk dibahas. “Ini pertemuan ke-16 antara kedua Menlu. Bisa saja persoalannya selesai pada pertemuan ke-17, 18 atau pertemuan berikutnya. Namun agenda pembicaraan sudah disepakati yakni membicarakan insiden di perairan Bintan,” kata Menlu Malaysia Anifah seperti dikutip kantor berita pemerintah Malaysia Bernama. Pembahasan terkait nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia juga berjalan di tempat. Tidak ada poin yang bermanfaat yang dihasilkan dalam pertemuan itu. Kedua Menlu hanya menyepakai untuk mendorong Working Group (kelompok kerja) terkait untuk mencapai kemajuan yang substantif terhadap Letter of Intent (LOI) mengenai TKI. Yang mengecewakan, dalam pertemuan itu Indonesia justru mengajukan  usulan Consular Notification and Assistance Arrangements (Pemberitahuan Konsuler Dan Pengaturan Pendampingan Hukum) ketika TKI atau WNI terlibat masalah hukum di Malaysia. Hal itu menguatkan fakta bahwa selama ini KBRI sulit mengetahui jika ada warga negara RI yang terjerat kasus hukum di Malaysia. Permintaan itu berarti KBRI mengemis kepada aparat pemerintah Malaysia untuk mendapat pemberitahuan rutin jika ada WNI ditahan dan kebebasan melakukan perlindungan hukum kepada warganya yang dijerat aparat Malaysia. “Pengaturan termaksud akan memperkuat mekanisme Joint Committee yang selama ini sudah ada di antara KBRI dan instansi terkait di Malaysia,” kelit Marty. Pemerintah RI dalam pertemuan itu menyatakan prihatin dan kepedulian atas nasib WNI yang terancam hukuman mati. Pemerintah Indonesia akan memberikan bantuan advokasi hukum bagi WNI yang menghadapi proses hukum di Malaysia. Marty mengatakan bahwa pihaknya telah mengajukan keringanan hukuman kepada  3 WNI yang sudah dijatuhi hukuman mati. “Saat ini menunggu permohonan pengampunan, telah diajukan keringanan hukum bagi WNI tersebut atas dasar pertimbangan kemanusiaan dan hubungan baik kedua negara,” kata Marty. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Teguh Wardoyo  memaparkan ada 177 WNI yang diancam hukuman mati karena terjerat kasus narkoba dan pembunuhan. Sebanyak 142 orang yang terlibat kasus narkoba statusnya divonis mati. Dari kasus itu, sebanyak 72 kasus dalam proses pengadilan, 54 kasus sudah diproses di tingkat pertama, 5 kasus dalam proses kasasi, 8 kasus dikurangi hukumannya, dan 3 kasus dalam proses pengampunan. “Sedangkan, dari 35 kasus pembunuhan, 26 kasus didakwa hukuman mati, 7 kasus dalam proses pengadilan dengan ancaman hukuman mati, dan 2 kasus sudah diringankan hukumannya,” kata Teguh. Pakar hubungan internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana mengatakan kecewa dengan hasil perundingan Kinabalu. Menurut dia, hasil yang dicapai Kemenlu tidak sesuai dengan permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan ketika berpidato di Mabes TNI Cilangkap. “Masalah perundingan perbatasan hanya menyepakati jadwal pertemuan selanjutnya. Itu saya kita mencederai ekspektasi publik terhadap perundingan ini,” kata Hikmahanto. Guru Besar UI itu mengkritik diplomasi Kemenlu yang dinilai tidak bertaji. Bahkan, permintaan maaf otoritas resmi pemerintah Malaysia terkait penangkapan tiga petugas DKP juga tidak terucap dalam forum itu. Dalam komunike memang hanya disebutkan Marty Natalegawa menyampaikan keprihatinannya, namun tidak ada respons dari Menlu Malaysia. “Itu memprihatinkan,” singkat dia. Hal lain yang melemahkan pertemuan yang dinantikan publik Tanah Air itu adalah Malaysia tidak menjanjikan investigasi terhadap aparatnya. Padahal mereka memperlakukan petugas DKP RI layaknya pelaku kejahatan. “Padahal Presiden SBY dalam pidatonya di Cilangkap menghendaki adanya investigasi,” kata dia. Dari semua ini hasil pertemuan tidak ada yang substantif sebagaimana diharapkan oleh Presiden RI dalam pidatonya di Cilangkap, apalagi yang dikehendaki oleh publik Indonesia. Pertemuan juga tidak menghasilkan sesuatu yang kongkrit karena semua hal hanya “akan” dilakukan. FPDIP Sebut Perundingan Sia-Sia FPDIP mengajukan kritik tajam terhadap perundingan di Kinabalu. TB Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi I DPR, mengatakan perundingan tersebut merupakan pertemuan rutin tahunan yang dilakukan secara bergiliran. Tahun lalu, pertemuan serupa berlangsung di Bali, sekarang di Kinabalu, dan tahun 2011 akan kembali dilaksanakan di Indonesia. “Jadi, bukan karena ada kasus, kemudian ada pidato presiden, lalu ada perundingan,” kata Hasanuddin di Gedung DPR. Bahkan, imbuh dia, enam bulan lalu rencana perundingan ini sudah dilaporkan Menlu kepada Komisi I DPR. “Jadi, ini bukan percepatan,” tegasnya. Hasanuddin juga menyindir lemahnya persiapan materi perundingan dan pra “kondisi menjelang perundingan. “Kita berharap tadinya pidato presiden (di Mabes TNI, Red) menyangkut perbatasan menaikkan bargaining posistion RI pada perundingan hari ini, ternyata tidak,” ujarnya. Hasanuddin menyesalkan pidato presiden yang justru terkesan mengakui adanya ketergantungan Indonesia kepada Malaysia. Padahal, menjelang perundingan, SBY seharusnya berani mengangkat ketergantungan Malaysia sekecil apapun terhadap Indonesia. Misalnya, dia memberi contoh, fakta bahwa Malaysia mengimpor batubara dari Indonesia hampir 10 juta metrik ton. Selain itu, bisa juga berbicara mengenai kemampuan TNI yang kuantitasnya tiga kali lipat dibandingkan tentara Malaysia. “Jangan kita bicara mengenai alutsista, karena alutsista itu bukan faktor utama untuk memenangkan sebuah perang,” ujarnya. “Walaupun kita tidak akan perang tetapi harus kita bangkitkan bangsa ini supaya memiliki kepercayaan diri,” imbuh Hasanuddin. Dia menegaskan pidato presiden itu telah membuat rendahnya bargaining position Indonesia pada perundingan Kinabalu. “Saya mendapatkan informasi dari Kinabalu, mereka hanya melakukan pertemuan selama tiga jam, dengan agenda perkenalan, karena ternyata tim perundingan dari Malaysia itu orang baru semua,” kata Hasanuddin. Selain itu, imbuh dia, pertemuan itu juga hanya membuat jadwal-jadwal apa saja yang akan dibicarakan pada tahun depan. Termasuk penyampaian nota protes dari masing-masing Negara. “Setelah itu pertemuan selesai dan menunggu berbuka puasa. Jadi apa yang bisa didapatkan?,” kritiknya pedas. Hasanuddin mengatakan FPDIP sangat memprihatinkan kondisi ini. “Saya yakin kita takkan mendapat apa “apa dari perundingan Kinabalu. Ini artinya negara kita tak dimanage dengan baik,” tandasnya. (zul/pri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: