Akhiri Kegaduhan Taksi Online
DISRUPSI selalu memantik pro-kontra. Soal angkutan umum berbasis aplikasi alias taksi online, gejolak sudah muncul sejak strategi sharing economy itu mendisrupsi industri taksi konvensional. Demo pengemudi taksi konvensional pun merebak di mana-mana. Bahkan, pada 17 Desember 2015, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sempat melarang taksi maupun ojek online beroperasi. Meskipun, satu hari kemudian larangan itu direvisi akibat kuatnya desakan publik yang menginginkan tetap adanya layanan yang murah, mudah, dan cepat. Belajar dari pengalaman itu, pemerintah tak lagi melarang beroperasinya kendaraan online, tetapi melakukan pengaturan. Maka terbitlah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 108/2017 yang efektif berlaku mulai 1 Februari 2018. Beberapa aturan yang ada dalam beleid itu adalah kewajiban uji kir untuk taksi online, SIM A umum untuk driver, stiker penanda taksi online, serta kuota di masing-masing daerah. Aturan yang didesain sebagai jalan tengah itu pun kembali memicu pro-kontra. Sebagian driver taksi online menolaknya karena menilai sangat memberatkan. Sebaliknya, pelaku usaha angkutan konvensional mendesak aturan itu diberlakukan agar iklim kompetisi terjaga. Kalau diterus-teruskan, masing-masing pihak tidak mau mengalah, perdebatan itu tak akan ada habisnya. Sepanjang aturan yang menjadi jalan tengah tersebut bisa dijalankan, sebaiknya dijalankan. Pemerintah pun harus merespons positif keberatan-keberatan yang disampaikan dengan berbagai perbaikan layanan. Misalnya, soal uji kir yang dibilang kemahalan, harus ditemukan akar masalah dan solusinya. Karena pengalaman uji kir juga ada yang baik dan tidak sulit. Terkait dengan pemasangan stiker yang dipersoalkan, saya dengar Kemenhub sudah berkompromi dengan ukuran stiker yang lebih kecil. Kalau itu fungsinya agar angkutan online tersebut terdata dengan baik, itu rasanya bisa dijalankan. Terkait dengan kuota per daerah, itu juga jalan tengah. Sebab, di beberapa daerah, gubernur melarang taksi online beroperasi. Padahal, di wilayah tersebut sudah banyak taksi online yang beroperasi. Jika dibiarkan, hal itu akan memicu konflik horizontal dengan taksi konvensional. Karena itu, aturan kuota tersebut bisa menjadi payung hukum beroperasinya taksi online di seluruh Indonesia. Soal jumlahnya, itu bisa didiskusikan lebih lanjut antara pemerintah daerah dan pelaku taksi online. Terkait dengan syarat SIM A umum, pemerintah juga harus bisa memfasilitasi. Misalnya, dengan pembuatan SIM kolektif sehingga lebih mudah. Intinya, kegaduhan ini jangan berlarut-larut karena akan merugikan semua pihak. Driver taksi online harus mau sedikit mengalah dengan menerima jalan tengah. Sebaliknya, pemerintah harus memperbaiki layanan publik terkait dengan syarat-syarat bagi taksi online agar tidak memberatkan. Toh, saat ini market sudah terbentuk. Masyarakat sudah terbiasa dengan servis taksi online dan mendukung keberadaan taksi online. Karena itu, sepanjang aturan tersebut tidak memberatkan dan mematikan taksi online, sebaiknya dipenuhi agar kegaduhan segera berakhir. (owi) *Pakar Manajemen, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: