3 Daerah Rakor Sikapi Penanganan Banjir Cirebon, Perhatikan Saran BBWS

3 Daerah Rakor Sikapi Penanganan Banjir Cirebon, Perhatikan Saran BBWS

TIGA daerah terdampak banjir mengadakan rapat koordinasi (rakor) penanganan. Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Kuningan. Agenda itu dipusatkan di Ruang Adipura Balaikota Cirebon, Senin (26/2). Hadir Pjs Walikota Cirebon Dedi Taufikurohman, Plt Sekda Kabupaten Cirebon Rahmat Sutrisno, Asisten Pembangunan Setda Kabupaten Kuningan Dadang Supardan, Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Bob Arthur Lombogia, BPBPD Provinsi Jawa Barat, Rosmananda, dan pejabat teknis lainnya. Dalam penyampaiannya, Pjs Walikota Cirebon, Dedi Taufikurohman mengatakan, pasca banjir proses pemulihan terus dilakukan. Pemulihan ini harus melibatkan berbagai sektor, tidak hanya Kantor Penanggulangan Bencana. \"Khusus untuk anak-anak korban banjir juga harus di-recovery agar tidak ada trauma akibat banjir pada diri mereka. Proses pemulihan ini juga harus melibatkan banyak sektor, tidak hanya KPB Kota Cirebon,\" ujarnya. Mulai dari Dinas Sosial untuk masalah korban banjir, Dinas DPUPR untuk permasalahan infrastruktur yang rusak akibat banjir, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan untuk penanggulangan kesehatan pasca banjir serta dinas terkait lainnya. \"Saya juga sudah intruksikan bahwa sekolah-sekolah yang berada di titik rawan banjir atau longsor untuk tidak ada aktivitas dulu,\" jelasnya. Tak hanya itu, lanjut Dedi, untuk penanganan banjir perlu ada upaya yang berkelanjutan antardaerah. Namun untuk Kota Cirebon, imbuh Dedi, dilakukan dengan cara penanganan masalah sedimentasi di sungai, pembuatan sumur resapan di lahan kritis hingga membuat peta rawan bencana. \"Kita upayakan antar daerah bisa bekerja sama dalam penanganan banjir ini, mulai dari pemetaan stakeholder dan tanggung jawabnya, dan perlu ada peta rawan bencana, di zaman teknologi gini masa tidak ada,\" katanya. Sementara dalam kesempatan itu, Plt Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon Rakhmat Sutrisno menyebut, warga yang tertimpa bencana mengalami trauma. Sejauh ini, telah dilakukan sejumlah upaya penanganan, baik pemenuhan kebutuhan dasar hingga pemulihan mental warga. \"Menurut warga di sekitar Sungai Cisanggarung, bencana ini lebih dahsyat dari bencana yang sama pada 1968. Kami berharap badai segera berlalu,\" tuturnya. Asisten Pembangunan Setda Kabupaten Kuningan, Dadang Supardan mengatakan, tecatat saat ini hampir 3.000 pengungsi di Kabupaten Kuningan setelah bencana banjir, longsor, dan pergerakan tanah yang terjadi. Dia memaparkan, di Desa Margacina, Kecamatan Karangkancana yang terdampak longsor ada 250 KK yang terdiri dari 987 warga sudah diungsikan. Kemudian di Desa Jabranti akibat pergerakan tanah, ada 467 KK yang terdiri dari 1.333 warga juga diungsikan. Serta di Desa Pinara Kecamatan Ciniru ada 550 KK yang terdiri dari 1.500 warga diungsikan. \"Ada 14 kecamatan yang terdampak, dan hampir tiga ribu pengungsi,\" jelasnya. Menurut Dadang, bencana yang terjadi tidak separah tahun 2017 lalu. Untuk penanganannya tidak bisa dilakukan oleh BPBD dan perangkat daerah Kabupaten Kuningan saja. \"Pernah 2017 lalu kejadiannya sama, tapi tidak separah kali ini. Dari bencana ini, kita hitung butuh sekitar 1.500 rumah yang harus dibangun,\" tuturnya. Sementara, Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung, Bob Arthur Lombogia mengatakan, curah hujan yang terjadi beberapa hari ini cenderung tinggi tercatat 236 mm. Selain karena curah hujan yang tinggi, secara garis besar persoalan yang terjadi terutama di sungai adalah sedimentasi. \"Akibat sedimentasi hingga terjadi pendangkalan, erosi di hulu sungai, yang mengakibatkan aliran permukaan tidak tertahan dan langsung ke badan sungai,\" ujarnya. Disebutkan Bob, panjang daerah aliran Sungai (DAS) Cimanuk yakni 188 kilometer dan Cisanggarung sepanjang 71 kilometer. Dengan pendangkalan sungai tercatat rata-rata 2 juta meter kubik setiap tahunnya. BBWS pun mencatat ada 599 titik tanggul sungai yang kritis di sepanjang Cimanuk Cisanggarung. \"Titik kritis ini tanggul sungai yang terkikis akibat kecepatan air yang tinggi, faktor lain ada penambangan Galian C di badan sungai yang mengakibatkan degradasi dasar sungai. Bisa juga tanggul sungai terbentur benda-benda keras, misal batang pohon yang hanyut,\" jelas Bob. Masalah banjir yang disebabkan karena tanggul jebol pun, kata Bob, disebabkan karena debit air yang melebihi kapasitas. Tercatat rata-rata debit air 1.291 meter kubik per detik yang idealnya hanya 800 meter kubik per detik. Secara umum, penanganan darurat banjir yang dilakukan BBWS adalah dengan melakukan pemompaan terhadap daerah yang tergenang, perbaikan tanggul yang jebol secara cepat dengan metode SUPW Generik atau Bio-Engineering, normalisasi sungai, dan pembuatan tanggul serta tembok penahan tebing. \"Untuk jangka panjang kita berupaya mengusulkan pembangunan cek dam yang bertujuan untuk mengatasi sedimentasi pada hulu sungai,\" terangnya. Selain itu, Bob juga menyarankan untuk persoalan banjir dan sungai perlu penanganan yang komprehensif. Mulai dari penataan saluran air di setiap perkotaan dengan menggunakan prinsip-prinsip konstruksi drainase. Kemudian pembinaan kepada masyarakat bagaimana melestarikan dan menghargai sungai sebagai sumber air dan kehidupan manusia. Hingga sosialisasi kepada masyarakat tentang pembuatan sumur-sumur resapan dan biopori serta pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan rumah tangga agar supaya air tidak langsung masuk ke drainase kota. \"Pembuatan regulasi tentang persyaratan membuat resapan di daerah permukiman baik yang sudah ada maupun yang akan dibangun sebagai persyaratan IMB. Dan diperlukan upaya-upaya terhadap penanganan sampah mulai dari manajemen persampahan, penentuan lokasi TPS dan TPA yang tidak menggunakan bantaran sungai, dan mengingkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai,\" sarannnya. (mik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: