Benang Kusut Penanganan PGOT, Terciduk, Tak Bikin Kapok

Benang Kusut Penanganan PGOT, Terciduk, Tak Bikin Kapok

CIREBON-Permasalahan pengemis, gelandangan dan orang terlantar (PGOT) tak kunjung bisa dituntaskan Pemerintah Kota Cirebon. Itu terlihat dari tangkapan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), yang nyaris didominasi tangkapan berulang. Ada yang sudah belasan kali terciduk, tapi tak pernah kapok. Pagi-pagi buta Sutarmi (bukan nama asli) sudah berangkat dari kediamannya di Sutawinangun, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon. Mau cari uang, katanya. Dia naik angkutan umum menuju perempatan Jl Tuparev-Gunungsari. \"\" Dia turut memboyong bayi yang berusia 9 bulan. Bayi mungil itu tidur sepanjang perjalanan. Tidak pernah rewel. Tentu saja, itu memudahkan pekerjaannya. Jalan sebentar kemudian sampai di Lampu Merah Gunungsari. Di sanalah ia mulai beraksi. Pasang wajah meringis dan seperti ingin menangis. Satu per satu pengendara dia hampiri. Sejauh ini, caranya meminta belas kasih masih ampuh. Setiap harinya ia bisa menyambung hidup dan berulang kali kembali ke jalanan. Sutarmi bukan sekali atau dua kali tertangkap. Ia hanya salah satu dari puluhan pengemis yang sering kena razia. Dari data yang tercatat di Satpol PP, ada salah satu pengamen yang tertangkap sampai 12 kali. Kondisi ini menggambarkan betapa PGOT memang tak pernah jera, meski berulangkali ditangkap. Pemerintah Kota Cirebon tentu didesak untuk punya solusi lain, agar mereka tak kembali ke jalanan. Masalahnya, pengemis di Kota Cirebon ini lebih banyak berasal dari luar kota. Total data PGOT yang terciduk aparat di Januari-April, sedikitnya 41 pengemis, anak jalanan (anjal) maupun pengamen terdaftar sebagai warga luar Kota cirebon. Mereka datang hanya untuk ”bekerja” mengingat di Kota Cirebon banyak pusat keramaian. Masih dari data yang sama, pengemis dan pengamen serta anjal warga Kota Cirebon hanya ada 14 orang. Yang membuat miris, hasil tangkapan petugas justru banyak mendapati anak-anak usia belasan tahun. Jumlahnya juga mendominasi. Usia 15 tahun misalnya, terdapat 10 anjal yang tertangkap. Kemudian usia 16 tahun ada 12 anjal yang tertangkap. Paling muda di usia 14 tahun dan yang paling tua berusia 45 tahun. Rentang usia tersebut merupakan usia produktif. Usia bekerja dan sekolah yang seharusnya tidak ada di jalanan. Meski banyak wajah lama, Kepala Bidang Ketenteraman Masyarakat dan Ketertiban Umum Satpol PP Yuki Maulana Hidayat mengaku, penanganan PGOT sudah dilakukan sesuai dengan standar operasional. Yang dimulai dengan mengamankan dan penindakan. \"Kami bertugas hanya untuk mengamankan, untuk pembinaan bukan lagi ada di kewenangan kami,\" tuturnya. Kewenangan pembinaan PGOT berada di Dinas Sosial. Pembinaan yang tepat dan pemberian efek jera dirasa jadi yang paling tepat. Selain mengganggu ketertiban umum, pengemis pengamen maupun anak jalanan mengganggu estetika. Terlebih lagi dengan pola yang menyebar, cukup sulit untuk memberantas sampai habis. Untuk itu, kerjasama antar semua pihak jadi yang dirasa paling tepat untuk menangani PGOT di Kota Cirebon ini. Masalah PGOT memang tidak bisa dituntaskan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dalam rapat koordinasi yang dilaksanakan Linmas Kementerian Dalam Negeri dan Satpol PP Pemerintah Provinsi Jawa Barat, hal ini menjadi pokok pembahasan. Sayangnya, sejak rapat koordinasi dilaksanakan Januari, hingga saat ini beluma ada rencana terpadu untuk penanganannya. Dalam rapat tersebut, Kepala Satpol PP Provinsi Jawa Barat Drs Udjwalaprana Sigit MM MSi mengatakan, masalah PGOT bukan lagi persoalan kabupaten/kota. Levelnya harus koordinasi antar provinsi. Misalnya, kerja sama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. \"Pemerintah punya tanggung jawab dalam penanganan PGOT. Mereka harus hidup normal,\" ujar Udjwalaprana. (myg)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: