Soal PKPU Larangan Eks Napi Koruptor Nyaleg Selesaikan di MA bukan Kemenkum HAM

Soal PKPU Larangan Eks Napi Koruptor Nyaleg Selesaikan di MA bukan Kemenkum HAM

JAKARTA - PKPU tentang Pencalonan DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang salah satu isinya melarang eks napi koruptor nyaleg, masih menunggu pengesahan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). Namun, Kemenkum HAM hanya berhak mengklarifikasi, bukan menolak peraturan tersebut. Hal itu ditegaskan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Dia menyatakan, acuannya adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembar Negara. Dalam aturan itu, jelas Titi, Kemenkum HAM hanya bisa meminta klarifikasi terhadap pihak terkait dengan prosedur dan substansi pembuatan peraturan. ”Hanya disebutkan klarifikasi,” ucap dia kepada Jawa Pos, Rabu (6/6). Kalau dipandang ada materi yang tidak sesuai dengan undang-undang atau putusan MK, para pihak yang tidak setuju atau merasa dirugikan bisa mengajukan judicial review (JR) di Mahkamah Agung (MA). ”Biarlah diselesaikan di MA, bukan di Kemenkum HAM. Kami berharap Kemenkum HAM segera mengundangkannya,” ucap Titi. Ibu satu anak itu menerangkan, jika PKPU 16/2018 tersebut lambat diundangkan, para caleg akan dirugikan. Mereka tidak mendapatkan kepastian hukum terkait aturan teknis pencalonan legislatif 2019. ”Mestinya Kemenkum HAM tidak mengusik substansi PKPU Pencalonan,” tegas dia. Setiap pihak seharusnya menghargai kewenangan dan kemandirian yang dimiliki KPU. Pada bagian lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyampaikan bahwa PKPU tersebut bakal dibahas lebih lanjut. Karena itu, dia belum bisa menyampaikan sikap pemerintah secara utuh. ”Kan ada pendapat-pendapat umum yang harus kita saring bersama, jadikan suatu pertimbangan,” tuturnya. Dia mengaku sudah berbicara dengan banyak pihak. Namun, masih ada yang pro dan kontra. Menurut Wiranto, ada yang berpandangan bahwa mantan napi kasus korupsi tidak seharusnya menjadi wakil rakyat. ”Koruptor kok masih jadi pejabat. Kok masih jadi wakil rakyat. Padahal, banyak sekali yang bukan koruptor dan punya kualitas,” terangnya. Tapi, di pihak lain, juga masih ada yang sepakat mantan napi koruptor diberi kesempatan untuk kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. “Tapi, sekarang caranya bagaimana? Ini kan masalah konstruksi undang-undangnya. Bukan masalah substansinya,” tambah dia. Karena itu, sambung Wiranto, pemerintah perlu membahas lebih lanjut dengan berbagai pihak. ”Begitu diundangkan itu sudah final dan dipatuhi. Dan sebelum ribut, kita ajak bersama dan duduk bersama,” ucap mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tersebut. ”Tugas saya menyelesaikan masalah dalam satu koridor musyawarah mufakat agar menghasilkan suatu kebenaran,” sambungnya. Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengakui bahwa PKPU tersebut punya semangat dan tujuan yang baik. Yakni memastikan caleg yang ikut pileg bersih dari kasus korupsi. Namun, dia menyatakan, tidak bisa begitu saja menandatangani aturan tersebut. Menurut Yasonna, PKPU tidak bisa menabrak undang-undang. Untuk itu, dia tidak bisa begitu saja setuju dengan PKPU tersebut meski semangat dan tujuannya baik. Yasonna menambahkan, PKPU seharusnya tidak menghilangkan hak seseorang. ”Dan saya sudah katakan, melakukan hal yang baik harus dengan cara yang baik juga,” tuturnya. Lebih lanjut, Yasonna menyebutkan bahwa KPU tidak punya kewenangan menghilangkan hak seseorang. Apalagi melalui PKPU. Sebab, aturan tersebut dibuat untuk urusan teknis. Hanya pengadilan melalui putusannya yang bisa mencabut hak seseorang untuk berpolitik. (lum/syn/c9/oni)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: