Pengungsi Pinara Terkendala Air Bersih

Pengungsi Pinara Terkendala Air Bersih

KUNINGAN - Sudah hampir dua bulan, pengungsi korban bencana tanah longsor Desa Pinara, Kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan, menempati hunian sementara (huntara) di Desa/Kecamatan Ciniru. Mereka kini dihadapkan pada beberapa permasalahan baru seperti persediaan makanan yang semakin menipis, bahkan sulit mendapatkan air bersih. Salah satu lokasi huntara warga Pinara adalah di sebuah lahan wakaf warga di dekat SMA Negeri Ciniru  berbatasan langsung dengan tempat pemakaman umum (TPU). Sebanyak 87 rumah huntara dibangun di lokasi tersebut dihuni oleh ratusan warga dari tiga dusun yaitu Dusun Cihanjuang, Cijoho dan sebagian warga Dusun Ciporang. Untuk kebutuhan air bersih, Pemerintah Kabupaten Kuningan telah membuatkan sumur bor di dua lokasi berbeda berikut tempat MCK masing-masing 10 unit. Permasalahannya, ternyata kualitas air yang dihasilkan sumur tersebut tidak layak minum sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK) saja. \"Air dari sumur bor juga sering mati, sehingga warga terpaksa mandi dan cuci ke sungai yang jaraknya sekitar 1 kilometer. Sedangkan untuk kebutuhan minum, kami mengambil dari air PAM di SMA Ciniru,\" ungkap Anjar, salah satu pengungsi Pinara kepada Radar Kuningan, kemarin. Dijelaskan Anjar, para pengungsi tidak menggunakan air dari sumur bor untuk minum karena kondisi yang agak keruh dan terasa asin. Warga khawatir, jika air tersebut diminum akan berdampak pada kesehatan mereka, sehingga untuk solusinya mengambil air dari PAM tadi. Selain masalah air bersih, keberadaan huntara yang terbuat dari asbes membuat suhu udara di dalam rumah menjadi terasa panas kala siang dan dingin saat malam hari. Warga pun berharap ada bantuan kipas angin untuk menyejukkan udara di kala panas menyengat. \"Satu deret perumahan ini ada sekitar tujuh hingga sembilan rumah warga yang saling berdempetan. Dinding dan atapnya dari asbes, sedangkan lantainya dari bilah bambu. Jadi kalau tetangga ada yang berjalan, di sebelahnya bisa merasakan goyangannya,\" ujar Emi, warga penghuni huntara. Para pengungsi juga mengeluhkan pasokan makanan yang kian menipis karena sudah hampir dua bulan tak ada lagi kiriman bantuan baik dari pemerintah, organisasi, partai politik maupun donatur. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, para pengungsi hanya mengandalkan dari bantuan yang tersisa atau pemberian saudara dan tetangganya. \"Kami sudah tidak punya mata pencaharian lagi. Ladang dan sawah yang selama ini menghidupi kami sudah rusak terbawa longsor. Kalau dulu satu tahun bisa menghasilkan 20 ton beras atau menjual kayu dan kelapa untuk kebutuhan makan sehari-hari, tapi sekarang sama sekali tidak ada,\" ungkap Sukirman. Atas kondisi ini, Sukirman pun sangat mengharapkan ada bantuan dari pemerintah dan pihak lain agar para pengungsi bisa melanjutkan hidup di pengungsian. Warga pun tidak keberatan jika ada lapangan pekerjaan yang bisa menampung para pengungsi agar berpenghasilan. \"Ada beberapa yang anggota keluarganya merantau dan pulang pada saat Lebaran kemarin. Namun yang dihasilkan dari Jakarta hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup beberapa hari saja. Sedangkan kami tinggal di huntara ini entah sampai kapan,\" ujar Sukirman diamini warga lain bernama Dadi yang berharap secepatnya relokasi bisa terealisasi. Menurut Dedi, warga Desa Pinara sebagian besar mengalami trauma atas kejadian tanah longsor yang terjadi pada akhir tahun 2017 lalu tersebut. Atas kondisi tersebut, satu-satunya solusi yang diinginkan warga adalah relokasi tempat tinggal mereka ke tempat yang aman dan terhindar dari kemungkinan bencana serupa. (fik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: