Adu Penalti, Cara Beradab yang Dianggap Biadab

Adu Penalti, Cara Beradab yang Dianggap Biadab

BAGI kiper sehebat siapapun dia, jarak 7,32 meter di antara kedua tiang dan tinggi mistar 2,44 meter, akan terasa sangat besar sekali mulut gawang yang dikawalnya itu. Namun sebaliknya, untuk penendang di depannya, selihai siapapun dia, gawang yang ada di hadapannya terlihat begitu kecilnya. Itulah situasi, tekanan mental setiap pemain yang terlibat langsung dalam babak adu penalti dengan ketegangan luar biasa. Adrenalin penonton juga ikut terpacu, detak jantung pelatih bergemuruh tak beraturan, bahkan otot leher wasit pun ikut tegang meniup peluitnya. Adu penalti, sejauh ini adalah salah satu tawaran jalan keluar yang dianggap paling cepat, paling sederhana, sekaligus juga dinilai paling adil untuk menentukan siapa pemenang di antara dua kesebelasan yang membagi skor sama dalam 90 plus 30 menit waktu reguler dan tambahan waktu pertandingan. Pro dan kontra selalu muncul. Di satu pihak, adu penalti dianggap sangat manusiawi. Dibandingkan harus memaksa para pemain bertarung ulang dengan keletihan yang sangat hebat. Apalagi jika di jadwal berikutnya mereka harus bermain lagi dengan lawan yang berbeda. Tapi, di pihak seberang, adu penalti justru kerap dituding tidak manusiawi. Mempermainkan sisi psikologis pemain untuk jangka waktu yang lama. Terutama bagi pemain yang gagal penalti. Sekelas Roberto Baggio (Italia) pun, dia mengaku tak bisa menghilangkan trauma sepanjang karirnya hingga pensiun. \"Saya mengikuti terapi panjang dengan meditasi dan yoga. Namun trauma itu kerap muncul lagi. Di kamar mandi, di belakang kemudi, di atas kasur, dan di waktu makan siang,\" keluh si rambut kuncir yang melambungkan bola jauh ke atas mistar Claudio Taffarel saat adu penalti melawan Brasil di final Piala Dunia USA 1994. Selain itu, adu penalti sering dianggap tidak adil. Tim yang selama 120 menit bermain ultra defensif, bisa saja merebut piala kemenangan dari tim lawan yang seharusnya lebih pantas juara karena bermain penuh keindahan dan kehormatan. Belanda dihakimi Italia di semifinal Euro 2000, kendati sebenarnya mereka lebih baik. Namun akhirnya tersingkir karena kalah adu penalti. Penyebabnya satu, karena adu penalti tidak bisa mentolelir sepersekian detik kesalahan kendati mereka telah bermain gemilang selama 7.200 detik sebelumnya. Jangan dulu kita berpikir suatu saat nanti, adu penalti bakal dihapuskan. Karena di pihak lain, katakanlah penyelenggara atau sponsor, adu penalti adalah cara tuntas memastikan jadwal pertandingan. Akan menimbulkan banyak sekali kerepotan manakala 16 tim di perempat final harus bertanding dalam 12 partai dari yang seharusnya 8 pertandingan. Sistem gugur diciptakan untuk mempersingkat durasi turnamen. Bukan justru memperpanjang penyelenggaraan. Alasan itulah kenapa adu penalti harus dianggap pilihan terbaik jika pertaruhannya adalah biaya dan waktu, kendati itu artinya melupakan aspek keadilan. Di lain hal, penonton di seluruh dunia sangat menyukai adu penalti. Model pertaruhan nasib seperti itu diterima bagaikan sebuah permainan \"sadis dan berdarah-darah\". Adu penalti juga dianggap selalu menghadirkan tragedi yang nikmat disaksikan, tawa dan air mata dihadirkan dalam satu kesempatan yang sama. Ini berbeda dengan situasi menang dan kalah seusai bertanding dengan gentelmen di waktu reguler. Adu penalti sendiri sebenarnya sudah mulai dipertimbangkan oleh IFAB (Internasional Football Association Board), badan pembuat regulasi permainan dan pertandingan sepak bola sejak tahun 1970. Kemudian, FIFA menguji coba di banyak level pertandingan. Namun justru UEFA yang mengadopsinya secara resmi lebih awal, yakni di Euro 1976. Saat itu, adu penalti langsung mempertontonkan taring keganasannya, menjadikan Cekoslovakia menjadi juara Eropa setelah menang adu penalti di final melawan Jerman (Barat). Di sanalah terlahir gol penalti legendaris yang kemudian kondang dengan sebutan Panenka Chop-kick ke gawang Sepp Meier. Setelah itu, bergantian dongeng-dongeng adu penalti silih berganti menghiasi turnamen dua tahunan antata Euro dan Piala Dunia. Sebagai catatan, Inggris sebagai penemu sepak bola, justru paling merana. Selalu gagal dalam adu penalti. Beruntung, di perempat final kemarin, Harry Kane cs mengusir kutukan adu penalti bagi Inggris dengan menyingkirkan Kolombia. Di pihak lain, mentalitas Jerman tercatat sebagai jagoan adu penalti yang tak tertandingi. Argentina, Prancis, Spanyol, Italia, Portugal dan tim-tim favorit lain pernah merasakan manis dan pahitnya adu penalti. Lalu, toh adu penalti hingga kini tidak pernah digugat oleh tim yang kalah. Mereka di seluruh dunia secara sportif menerima adu penalti sebagai satu-satunya cara yang beradab, jauh lebih terhormat dibandingkan dengan lempar koin yang pasti akan dituding lebih biadab lagi. Piala Dunia Rusia 2018 yang sudah memasuki babak sudden death, kini telah menyelesaikan 8 partai di 16 besar, tiga di antaranya terselesaikan dengan adu penalti. Ke depan, masih ada 4 partai 8 besar, 2 pertandingan semifinal, partai penghibur final kecil tempat ketiga bagi mereka yang kalah, dan partai pemungkas big final 15 Juli nanti. Masih banyak kemungkinan terjadinya adu penalti. Apalagi, mengingat, kekuatan tim yang merata dan pertimbangan nasib baik yang kadang datang tak terduga. Bersiaplah kita menikmatinya. Itulah adu penalti, yang dibenci sekaligus dinanti, yang dihindari namun selalu menghampiri. (*) *CATATAN: Kurniadi Pramono

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: