RW Minta Alat Ukur Kualitas Udara, Warga Perlu Proteksi Debu Batu Bara

RW Minta Alat Ukur Kualitas Udara, Warga Perlu Proteksi Debu Batu Bara

CIREBON - Dampak debu batu bara makin terasa. Angin kencang dalam dua hari terakhir membuat sebaran debu jadi lebih luas. Kawasan pesisir yang paling parah kena dampaknya. Sekretaris RW 01 Pesisir, Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Rastim mengaku sedang meninventarisasi keluhan yang dirasakan warga. \"Biasanya kan warga juga menyampaikan informasi, dan kita cepat respons untuk cek,” uajr Rastim, kepada Radar Cirebon, Jumat (3/8). Rastim mengatakan, angin kencang dikhawatirkan membuat dampak debu terasa kembali oleh masyarakat. Setelah inventarisasi keluhan warga, akan menyampaikan secara tertulis. Tak selesai di situ, pihaknya juga akan melakukan verifikasi. \"Warga yang mengeluh nanti kita cek kebenarannya,\" tutur Rastim. Menurutnya, angin kencang ini memang lazim terjadi pada musim kemarau. Paling terasa di bulan Agustus. Angin ini oleh warga pesisir disebut angin tenggara atau angin kumbang. Saat terjadi polemik debu batu bara, warga pesisir yang paling parah kena dampaknya. Sebab, saat itu ada pengolahan batubara di pelabuhan. Namun saat ini sudah tidak ada. Batubara hanya transit dan aktivitas bongkar muat. Dia menyesalkan masalah ini sekadar jadi sorotan di musim angin kumbang. Padahal warga juga butuh proteksi yang berkesinambungan. Rastim mendesak PT Pelindo II segera melakukan pengadaan alat uji kualitas udara. Dengan perangkat ini, setiap harinya terpantau kondisi udara di permukiman mereka. Yang tidak kalah penting ialah merespons indikator dari kualitas udara tersebut. Saat pencemaran tinggi, bagaimana operator di pelabuhan melakukan upaya untuk mengurangi aktivitas atau penanganan lainnya. Saat ini dampak batubara jadi keluhan karena adanya masalah debu. Tetapi tidak pernah diketahui, udara di sekitar pelabuhan apakah tercemar atau tidak. \"Kita juga ingin tau kan. Kualitas udara di sini layak nggak. Kalau tidak layak gimana?,\" bebernya. Warga Kelurahan Panjunan, Kaslani juga meminta hal serupa. Sewaktu-waktu ia merasakan dampak debu aktvitas bongkar muat batu bara. Meski tak begitu parah, kampungnya belum bebas dari pencemaran udara. “Kalau nyapu lantai pada hitam,\" tukasnya. Diakuinya, memang untuk dampak debu hanya dirasakan sewaktu-waktu. Saat aktivtas bongkar muat batu bara lagi ramai. Jaring pengaman juga tak memberi dampak berarti. Tuntutan pengadaan alat ukur kualitsa udara juga disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Abdullah Syukur. Menurut dia, Pelindo mestinya memasang alat pengukur kualitas udara. Sebab hal itu juga pernah dijanjikan. Alat itu yang nantinya menjadi tolak ukur evaluasi aktivitas batu bara di pelabuhan. \"Kita berharap pelindo melakukan itu,\" ucapnya. Dengan demikian, bisa diketahui ambang batasnya. Apabila kualitas udara berada pada posisi buruk, aktivitas bisa dikurangi. Syukur menekankan, alat ukur kualitas udara tidak bisa dianggap remeh. \"Pencemaran udara kadang temporer, bergantung situasi dan kondisi,\" terangnya. Sebelumnya, Humas Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Klas II Cirebon, Dany Jaelani meminta Perusahaan Bongkar Muat (PBM) batu bara memperketat standar operasional prosedur (SOP). Dia mengakui, ada potensi dampak debu dirasakan masyarakat dengan kondisi cuaca panas dan angin kencang akhir-akhir ini. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: