Depresiasi Lira Seret Rupiah hingga di Level Rp 14.608 Per USD

Depresiasi Lira Seret Rupiah hingga di Level Rp 14.608 Per USD

JAKARTA - Pasar keuangan Indonesia tengah dilanda sentiment negatif global. Rupiah melemah terhadap dolar AS (USD) dan dana-dana asing di portofolio mendadak pulang kampung ke begara asalnya. Hal itu disebabkan masalah antara Turki dan AS. AS menaikkan tarif impor baja dari Turki menjadi 50 persen dan tarif impor alumunium menjadi 20 persen. AS memang sedang geram dengan Turki lantaran pastor asal AS Andrew Brunson tak kunjung dibebaskan Turki dari tahanan rumah. Brunson dituding terlibat dalam membantu kelompok kudeta militer untuk mendongkel Erdogan pada 2016 dan mendukung sejumlah aksi terorisme. Mata uang lira Turki pun tersungkur terhadap USD. Berdasar data Bloomberg, posisi lira sempat dihargai 6,92 per USD, atau melemah 7,63 persen dalam sehari. Secara year to date (ytd) sejak Januari 2018, lira telah melemah 82,59 persen terhadap USD. Selain faktor perang dagang dengan AS, pada dasarnya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tak menyukai suku bunga yang tinggi. Erdogan juga dinilai terlalu banyak mengintervensi bank sentralnya, sehingga pasar menilai Bank Sentral Turki tidak independen. Sebelumnya, lira sempat melemah saat Erdogan memilih menantunya, Berat Albayrak sebagai menteri keuangan pada Juli lalu. Melemahnya lira turut membuat mata uang Negara-negara berkembang (emerging markets) melemah. Di pasar spot, rupiah kemarin berada di level Rp14.608 per USD, atau melemah 0,90 persen dalam sehari. Di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah bertengger di level Rp14,583 per USD. Beruntung, rupiah tidak jatuh terlalu dalam seperti lira. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 7,69 persen terhadap USD. Melemahnya mata uang emerging markets ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di Negara lain seperti baht Thailand, dong Vietnam dan rupee India. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, sentimen negatif dari Turki tak ubahnya sentimen biasa yang terjadi setiap hari dalam dinamika ekonomi dan politik global. Hanya saja, dampaknya kali ini pada pasar keuangan global memang lebih besar. Padahal di dalam negeri, pada dasarnya fundamental ekonomi Indonesia cukup baik. Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada kuartal II 2018 dan kondisi likuiditas perbankan yang cukup. Namun ada hal yang kini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah. Yakni, memerbaiki defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Defisit itu membuat Indonesia sangat tergantung pada uang panas dari investor yang sewaktu-waktu bisa keluar-masuk. Pada semester I tahun ini, neraca perdagangan masih defisit sebesar USD 1,02 miliar. Sementara CAD kuartal II 2018 melebar mencapai USD 8 miliar atau 3 persen dari produk domestic bruto (PDB). CAD tersebut telah mencapai threshold internasional sebesar 3 persen dan lebih tinggi disbanding CAD pada kuartal I 2018 yang sebesar USD 5,7 miliar atau 2,2 persen dari PDB. “Ini masih lebih rendah jika dibandingkan situasi pada tapper tantrum tahun 2015 yang bisa di atas 4 persen. Namun kita perlu tetap hati-hati karena lingkungan yang kita hadapi sangat berbeda dengan 2015,” kata Ani usai membuka konferensi internasional Asia Pacific Research in Social Science and Humanities  (Aprish) kemarin (13/8). Pada 2015, pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) masih dilakukan dan bank-bank sentral belum menaikkan suku bunga acuan. Sedangkan tekanan ekonomi saat ini lebih besar, karena suku bunga acuan secara global sudah naik dan quantitative easing sudah dikurangi. Untuk mengatasi defisit, pemerintah akan mendorong ekspor dan mengurangi impor melalui penerapan kebijakan yang sudah dikeluarkan. Misalnya, insentif fiscal bagi industry yang berorientasi ekspor. Pemerintah juga berupaya mengalihkan impor dengan substitusi melalui penerapan standar tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Ke depan, pemerintah juga akan mengeluarkan aturan mengenai penggunaan biodiesel 20 persen (B20) untuk mengurangi impor minyak. Sebab, minyak adalah impor barang modal terbesar terutama untuk infrastruktur kelistrikan. “PLN (PT Perusahaan Listrik Negara) termasuk yang menggunakan banyak sekali barang modal dan sebetulnya mereka sudah memiliki policy TKDN. Tapi, penggunaan komponen dalam negeri selama ini masih belum dipenuhi,” kata Ani. Pemerintah bersama BI juga tengah menyiapkan kebijakan yang mendorong eksporter agar mau membawa USD-nya ke dalam negeri. Tidak hanya masuk di bank dalam negeri untuk membawa devisa, tetapi juga untuk menyimpan devisa tersebut di dalam negeri lebih lama. Di sisi lain, neraca jasa juga harus diperbaiki dengan meningkatkan pengiriman tenaga kerja yang mempunyai keterampilan ke luar negeri. Upaya perbankan menerbitkan kartu Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) juga adalah salah satu cara untuk menekan neraca jasa dari sisi industry pembayaran. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan neraca jasa yang defisit terus dikurangi oleh pemerintah. Namun yang terdekat, kebijakan B20 akan segera keluar. Kebijakan tersebut telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dia pun meminta masyarakat untuk tetap optimistis terhadap perekonomian Indonesia. Sebab, meski rupiah melemah, namun pelemahannya tidak setinggi lira. Inflasi di Indonesia juga rendah di angka 3-4 persen. “Di Turki, inflasi bisa double digit,” ujarnya. Hal itu membuat pemerintah tidak mengubah target penurunan kemiskinan meski rupiah telah melemah 7,69 persen. Akhir tahun ini, target kemiskinan diharapkan turun menjadi 9,5 persen. Sebelumnya hingga Maret 2018, tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 9,82 persen atau 25,95 juta orang. (rin/ken/agf)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: