Perjuangan Pangeran Diponegoro Ibadah Haji Kandas Hingga Akhir Hayatnya

Perjuangan Pangeran Diponegoro Ibadah Haji Kandas Hingga Akhir Hayatnya

Ibadah haji, bagi orang Indonesia, bukan hanya rukun Islam kelima. Lebih dari itu, haji merupakan sebuah ritus yang dipersyaratkan kepada mereka yang \'mampu\' sehingga menuntut pengerahan total kekuatan fisik, mental, dan spiritual. Jarak tujuh ribu sembilan ratusan kilometer dari Nusantara ke Arab Saudi ditambah ongkos yang tak murah saja sudah cukup menggambarkan betapa ibadah penyempurna itu tak mudah dijalani. Tentu sekarang sudah ada pesawat udara yang meringkas waktu perjalanan. Tetapi calon haji harus mengantre belasan-puluhan tahun untuk diberangkatkan ke Tanah Suci karena keterbatasan kuota jemaah. Di masa lampau, sebelum ada pesawat udara, sarana transportasi untuk pergi haji hanya dengan kapal laut--bisa sampai sebulan lamanya dengan kapal modern. Di waktu yang lebih lampau lagi, pergi ke Tanah Suci dengan kapal butuh waktu paling sebentar enam bulan--itu pun kalau selamat dari perompak dan badai serta ombak ganas. Karena itulah mereka yang telah sampai Tanah Suci, apalagi kembali dengan selamat ke Tanah Air, seolah menjadi muslim yang paripurna. Menyandang gelar haji sekaligus meningkatkan status sosial, bahkan memperkokoh legitimasi politik kuasa. Orang pertama berhaji Sejarah haji di Indonesia dimulai seiring islamisasi Nusantara pada abad ketujuh masehi. Namun orang pertama Nusantara yang berhaji tak diketahui pasti. Catatan orang Nusantara yang pergi haji baru diketahui sejak abad XV (tahun 1482 M), yakni ketika Hang Tuah, laksamana Kesultanan Malaka, mampir ke Jeddah dalam perjalanan militer dengan 42 kapal yang mengangkut 1.600 prajurit untuk membeli meriam ke Istanbul. Ditulis Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam, sebenarnya tidak terang apakah Hang Tuah atau ada orang lain yang berhaji dan mencatat lalu memasukkannya ke Hikayat Hang Tuah. Namun teks itu menunjukkan bahwa sudah ada orang Nusantara yang berhaji pada tahun 1482. Catatan berikutnya ialah tentang Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, anak saudagar di Pasai yang awalnya pergi ke Mekkah untuk belajar Islam kemudian beribadah haji di sana. Teks lain yang ditulis Henri menceritakan orang-orang berpunya di Nusantara, sebagian sultan/raja atau kalangan elite kerajaan, yang pergi haji, di antaranya Syekh Yusuf al-Makasari pada 1650, Jamaluddin Ibn al-Jawi pada awal abad ke-18, Raja Ahmad dari Riau pada 1828, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi pada 1854, dan Sultan Abdul Kahar dari Pontianak pada 1880. Dikisahkan dalam naskah lain, Sultan Ageng Tirtayasa, sultan keenam Kesultanan Banten, mengutus putranya, Abu Nashar Abdulqahar, menemui Sultan Mekkah sambil beribadah haji lalu melanjutkan perjalanan ke Turki pada 1671. Abdulqahar kembali ke Banten dan kemudian lebih dikenal sebagai Sultan Haji. Para sultan Kesultanan Mataram, kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara, tak ada yang berhaji [konon untuk menjaga netralitas dan rivalitas mistis-sufi Islam dengan mistis Hindu-Buddha sehingga raja Yogyakarta pantang ke Mekkah dan India]. Begitu pula semua keturunannya sebagai raja Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Hanya Sultan Agung, sultan ketiga Mataram, yang mengklaim sudah berhaji meski hanya rohnya yang ke Mekkah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: