Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883

Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883

“Mula-mula getarannya kecil, lebih mirip udara yang menggeletar, serangkaian angin yang menyapu, kelebatnya atmosfer yang nyaris tak terasakan,” tulis jurnalis Simon Winchester dalam karyanya yang tersohor, Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883. Kamis dini hari, 10 Mei 1883, penjaga menara suar Eerste Punt yang terletak di Tanjung Layar, Banten, merasakan getaran di udara. Tanah dan permukaan laut di depan mereka pun ikut bergetar dan menampakkan ombak yang menggelegak. Meski tak ada kerusakan, gejala alam ini dirasa tak lazim mengingat pola dan lokasinya yang tak biasa. Penjaga menara suar akhirnya mencatatnya dalam laporan harian yang kemudian ia kirim ke Batavia. Orang-orang di zaman itu mafhum bahwa gempa dan erupsi lumrah terjadi di Hindia Belanda. Walhasil, tak ada kecurigaan berlebih. Terlebih lagi, bulan-bulan awal tahun itu juga masih terbilang tenang. Beberapa gempa dilaporkan terjadi, namun tak ada yang betul-betul signifikan. Lima hari kemudian, getaran lemah menjalar di area Selat Sunda. Kali ini lebih besar dan beruntun, hingga terasa sampai Sumatra. Getaran itu bahkan membuat gusar Willem Bayerinck yang saat itu menjabat Controleur Ketimbang (kini Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan). Ia melaporkan getaran ini ke atasannya, Residen Lampung. Sayangnya, tak ada tindak lanjut. Tiba-tiba, Gunung Perbuwatan—salah satu gunung api di Pulau Krakatau—meletus pada 20 Mei. Kejadian itu juga terkonfirmasi dari laporan Kapten Hollman, seorang komandan kapal perang Jerman. Elizabeth, kapal yang dikendarai Hollman, saat itu sedang singgah di Anyer untuk mengisi persediaan logistik. Mereka tengah berada dalam perjalanan pulang ke Jerman setelah beberapa lama bertugas di Tiongkok dan Jepang. Menurut Simon Winchester, Kapten Hollman adalah orang Eropa pertama yang melihat awal letusan dan menuliskan laporannya. Erupsi pertama terjadi pada pukul 10.30 pagi. “Kami melihat sebuah awan kumulus putih naik dengan cepat dari pulau itu. Awan itu nyaris vertikal, dan setelah sekitar setengah jam ia mencapai ketinggian sekitar 11.000 meter. Di situ ia mulai menyebar seperti sebuah payung, mungkin karena ia sudah mencapai ketinggian angin anti-pasat, sehingga tak lama kemudian hanya sebagian kecil dari langit biru itu yang tampak di cakrawala,” tulis Kapten Hollman dalam laporannya sebagaimana dikutip Winchester (hlm. 206). Kini jelaslah penyebab getaran aneh yang dirasakan penjaga mercusuar Eerste Punt dan merisaukan Controleur Bayerinck. Pulau gunung api Krakatau yang selama ini dianggap telah padam rupanya masih aktif. Kapal-kapal lain, baik sipil maupun militer, yang sedang berlayar atau berlabuh di sekitar Selat Sunda segera menyebarkan kabar erupsi Krakatau. Beberapa harinya, ketika erupsi tampak mereda, Gubernur Jenderal Frederik s’Jacob mengeluarkan perintah untuk mengamati apa yang sebenarnya terjadi di Krakatau. Seminggu pasca-erupsi, dengan menumpang kapal wisata Loudon, berangkatlah insinyur pertambangan A.L. Schuurman ke Krakatau. Dalam laporan resminya kepada pemerintah kolonial, Schuurman menyebut bahwa sebagian besar hutan di Pulau Krakatau telah hancur. Kondisi pulau pun belum cukup stabil untuk pengamatan lebih jauh. “Hanya puncak yang tinggi [puncak Rakata] masih menyisakan warna hijau, tetapi lereng utara yang datar [lereng Perboewatan] tertutup oleh lapisan abu berwarna kelabu gelap, di sana-sini tampak pokok kayu telanjang sebagai sisa dari hutan sangat lebat yang sebelum ini menutupi pulau itu,” tulis Schuurman sebagaimana dikutip Winchester (hlm. 223). Pengamatan kedua dilakukan oleh Kapten H.G.J. Ferzenaar dari Angkatan Darat Belanda pada 11 Agustus. Selama dua hari berturut-turut, Kapten Ferzenaar mengamati Krakatau yang tiga kawahnya kini makin aktif. Ferzenaar juga menemukan setidaknya 14 lubang fumarol di seantero pulau (hlm. 228). Siapa sangka bahwa Kapten Ferzenaar adalah orang terakhir yang melihat Pulau Krakatau dalam bentuknya yang utuh. Dialah yang menggambar bentuk terakhir Pulau Krakatau setelah eksis kurang lebih 60.000 tahun. Dua minggu kemudian, 26 Agustus 1883, 135 tahun silam, pulau gunung api Krakatau meledak.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: